Jika tidak sedang menonton, anda pasti sedang ditonton. Sebab drama adalah anda, saya dan secuil ruang dunia yang sedang kita bagi ini....
09 Juli 2008

Romantisme yang Gagah


Borte, sang wanita terpilih sejak usianya belum genap 10 tahun. Kelak dialah yang akan ikut andil mensohorkan tanahMongol yang teguh-perkasa itu, tanpa banyak bicara. Struktur rahang segi empat membuat karakternya begitu kuat sebagai wanita yang loyal dengan suara hatinya, berambut hitam panjang, bermata sipit dan berkaki kokoh menapak bumi yang dijunjungnya dengan cinta sepenuh hati. Begitulah Temujin dan para lelaki Mongol menentukan pendamping hidupnya. Sang Khan Agung itu beruntung. Kelak, di tahun 1206 Borte memang menjadi kekuatan luar biasa dalam menorehkan peta dalam separuh dari sejarah dunia, tepat di sisi romantis yang gagah bagi Sang Genghis Khan yang pemberani itu.

Meresapi Mongolia, sungguh! Saya hampir tidak peduli dengan keperkasaan fisik seorang laki-laki. Namun kejujuran, kepolosan dan keteguhan cara berpikir merekalah yang membuat gerakan mereka begitu indah saat mengayunkan pedang dan menebas setiap batang leher pengkhianat, kepala demi kepala.

Sambil men-dialog-kan sikap lugas. ”Orang Mongol bebas untuk memilih siapa tuannya...!” Pun saya menangkap keberanian dalam dialog; ”Orang Mongol tidak menyakiti anak-anak dan wanita...!” atau ”Orang Mongol tidak berperang untuk wanita...!” Sebuah sikap bangsa yang tidak hanya berani, tapi juga cerdas! (menurut saya lho...!).

Alasannya? Menurut saya lagi, Sebagai lelaki, Temujin paham betul di mana seorang wanita harus berada, ditambah pula wanita-wanita seperti Borte pun benar-benar mengerti untuk apa dia ada. Biarlah saya memberanikan diri menyebutnya ’Romantisme yang Gagah’. Karena suka atau benci, sejarah di manapun selalu mencatat, cinta seperti mereka itu seringkali terbukti melahirkan sosok dahsyat yang mampu mewarnai dunia dengan gerak pemikirannya.

Borte berkali-kali siap menunggu berapa tahun pun hitungannya, untuk kedatangan Sang Pahlawan hanya berbekal sepenggal tulang gagak putih. Borte pun berani maju untuk membebaskan kekasihnya dari keterpurukan. Semua itu dengan sepenuh hati, sebulat keyakinan yang tulus. Maka pahlawan besar itupun hadir dengan gagah-berani diantara senyum manis yang utuh, tanpa paksaan. Sama sekali bukan senyum manis seekor buaya lapar!

Temujin, laki-laki yang jatuh-bangun berkali-kali. Seperti sosok hebat lainnya dalam daftar tokoh dunia, Temujin telah mengulum pahitnya dikhianati sejak ia masih terlalu kecil, ketika ayahnya dibunuh oleh pengkhianat pengecut, juga saat wanita terkasihnya diculik, atau ketika ia harus memikul penghinaan karena kalah perang, lalu dijual sebagai budak belian dan dilecehkan dalam gelapnya kurungan sempit seperti binatang.

Namun sebagaimana seorang bhiksu bilang, Temujin memang manusia langka yang memiliki jiwa yang terlalu kuat untuk dipatahkan. Dalam intuisi-magisnya, sang bhiksu menangkap gurat masa depan Mongol yang dahsyat di wajah Temujin. Mongolia yang mampu menguasai hampir separuh peta dunia melalui pedang di tangannya. Untuk itu, sang bhiksu rela mati dehidrasi demi sebongkah tulang burung gagak putih untuk Borte yang masih juga kokoh berdiri.

Satu hal yang membuat jiwa Temujin begitu teguh, adalah keyakinannya kepada Tengri sang dewa petir. Saat tak seorangpun ada untuknya, ia selalu bersimpuh selayaknya manusia lemah lainnya untuk sebuah kekuatan lain, sebuah Invisible-Power. Maka keyakinan itulah yang mengalahkan Jamuha, saudaranya dalam peperangan besar yang tergambar jelas dalam satu lagi dialog favorit saya: ”Ketika tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi, maka satu-satunya yang harus aku lakukan adalah membuang rasa takut itu...!”

Memang cool..! Sebuah kemenangan yang wajar dan layak didapatkan seorang hamba dengan kualitas keyakinan jiwa seperti itu...

Saya cukup memahami lompatan-lompatan waktu begitu jauh menjadi pilihan Sergey Bodrov dalam mengatur plot ceritanya. Meski kadang harus menyayangkan jumlah fade to black yang begitu banyak, tapi Bodrov cukup cerdas menyiasati alur waktu yang memang terlalu panjang dan dalam untuk dibicarakan ditail semuanya dalam sebuah film.

Ini adalah versi kesekian dari epic Mongolia yang pernah saya tonton. Herannya, lagi-lagi saya ga pernah bisa mengelak untuk harus terkagum-kagum. Perjuangan rakyat Mongolia bagi saya memang selalu seksi untuk dirasakan.

Barangkali se-seksi Gadjah Mada, nenek moyang ’hebat’ saya yang tidak lagi populer di hati anak-cucunya, kecuali sekedar menjadi nama sebuah perguruan tinggi tertua dan label untuk jalanan semrawut. Karena satu per satu pengagumnya telah mati tanpa peperangan, seperti kakek dan paman-paman saya yang selalu menceritakan kehebatan Majapahit kepada saya, dan setiap kali saya harus melongo karena kagum.

Sayang sekali, beberapa TV-serie tidak mampu memenuhi imaginasi saya sewaktu kecil tentang Gadjah Mada. Sebab setahu saya Gadjah Mada tidak belajar kungfu, jadi ia tidak perlu berterbangan dan jungkir-balik ke sana-ke mari kayak Jet Li saat berperang menaklukkan Nusantara.

Wallahu a’lam....

Read more ...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

AddThis

follow