Jika tidak sedang menonton, anda pasti sedang ditonton. Sebab drama adalah anda, saya dan secuil ruang dunia yang sedang kita bagi ini....
24 Juni 2021

Anak Gembala | Pejuang Tanpa Kilauan Lampu Sorot


Bisa dibilang, saya ini penggemar berat bacaan sejarah dan biografi sejak remaja. Karena itu beberapa tahun lalu sempat terfikir di kepala sebuah tesis, bahwa tiap kali membaca sejarah perjuangan kemerdekaan di Indonesia, di pulau manapun; Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan hingga Maluku dan bagian Indonesia Timur lainnya, saya selalu menemukan dua pattern yang sama, yaitu
Sosok berkarakter dan Islam.

Silahkan cermati setiap detil perjalanan sejarah gugusan kepulauan besar ini. Di mana ada lubang yang tidak semestinya dalam tatanan puzzle etika kehidupan sosial seperti kemiskinan, ketidakadilan, kesewenangan, penjajahan, kebodohan hingga kesesatan berfikir, tunggu saja saatnya, akan muncul sosok berkarakter entah dari mana, datang mengibarkan bendera Islam, berjuang dengan keikhlasan level bintang lima. Ia berdiri di depan mengorbankan apa saja yang dipunyainya untuk menggerakkan hampir seluruh elemen sosial, mulai dari pendidikan sederhana lesehan beralas tanah sampai berjuang mengangkat senjata.

Dan buku ini, Anak Gembala, sekali lagi meyakinkan tesis saya tentang pattern tersebut. Setelah sekian puluh tahun kisah seorang anak yatim piatu bernama Abu Bakar Jamil ini berjuang demi diri, keluarga, lingkungan dan bangsanya di tengah dusun yang terselip di antara hutan belantara Bengkulu, hari ini baru akan terkuak untuk menginspirasi banyak orang. Tak ada spotlight yang menyorot perjuangannya saat itu. Jangankan Jakarta, mungkin penduduk kota Bengkulu sendiri pun barangkali banyak yang tidak mengetahui bahwa di wilayah mereka ada kilatan-kilatan pemikiran seorang anak gembala yang begitu berkarakter memperjuangkan masa depan keluarga, lingkungan dan bangsanya.

Bagi mereka yang masih sesat meyakini bahwa kebesaran seseorang identik dengan popularitasnya, biarlah mereka berkumpul berbaris manis sebagai kelompok pemandu sorak bagi perjalanan bangsa ini. Bagi sosok-sosok berkarakter seperti Abu Bakar Jamil yang menilai sebuah perjuangan dari manfaatnya bagi banyak orang sebagaimana hadits Nabi SAW. yang ia pelajari dari guru-gurunya yang ikhlas mengajar di dusunnya hingga ia bertekad dengan susah payah demi merubah nasib untuk bisa belajar di Sumatera Thawalib School Padang Panjang, spotlight sama sekali bukanlah tujuannya, bahkan barangkali tak terpikir sebersitpun di kepalanya saat itu.

Menceritakan sosok Abu Bakar Jamil sejak masa kecil, si yatim piatu penggembala kerbau hingga kiprah-kiprah beliau yang luar biasa baik sejak aktif bertugas di TKR, perjuangannya untuk keluarga, lingkungan dan desanya serta kiprahnya dalam keorganisasian Muhammadiyah dan perjuangan politik yang mengantarkan beliau berjuang dari kursi DPRD Bengkulu, buku biografi yang ditulis oleh anak dan cucu beliau sendiri ini cukup detil mengobservasi seluk-beluk lompatan zaman yang dilewati.

Membaca biografi seperti buku ini selalu membuai imaji saya seakan memasuki mesin waktu mengembara ke masa lalu yang mengasyikkan, mengagumkan, lalu tiba-tiba mendorong dan memaksa saya untuk mengamati dan memikirkan masa depan. Ada banyak ibrah, banyak sentilan-sentilan kecil yang seakan menyindir diri ini. Apa yang sudah saya lakukan, apa sebenarnya manfaat keberadaan saya di lingkungan dunia ini. Meski tidak berpengaruh banyak, semoga tulisan yang sedikit ini menjadi salah satu dari manfaat itu.

Saya pribadi sangat berharap semoga buku ini menginspirasi banyak kalangan, sehingga akan lebih banyak lagi tulisan-tulisan tentang sejarah dan biografi para pejuang dari wilayah-wilayah lain di pelosok Nusantara yang selama ini jauh dari kilauan cahaya lampu sorot publikasi sejarah bangsa.



Ditulis sebagai pengantar buku "Anak Gembala, Riwayat Hidup Abu Bajar Jamil".

Sigit Ariansyah


Read more ...
07 Februari 2020

Catatan Kenangan Hari-hari Terakhir bersama Gus Sholah | Sebuah Obituary



Langit Jakarta meredup, seperti sangat berduka ketika Senin pagi itu tanpa pikir panjang saya tancap gas menuju Bandara hanya berbekal tekad, berharap di sana bisa go-show mendapatkan tiket pesawat paling pagi menuju Surabaya. Semua situs penjualan tiket online paling cepat hanya tersisa penerbangan jam 14.00. Kabar mendadak berpulangnya Abah Yai membuat saya panik, kacau, atau entahlah, saya kesulitan menamai apa yang saya rasakan saat itu.

Setelah mendatangi counter Customer Service hampir semua Maskapai, akhirnya saya mendapatkan tiket untuk penerbangan tercepat jam 12:50. It’s ok lah, hitungan saya, kalau sesuai rundown dari pihak keluarga, saya masih punya kemungkinan, meski kecil, untuk berkesempatan mensholatkan jenazah sebelum dimakamkan pada pukul 16:00 di Tebuireng. Bismillah, saya putuskan untuk bersabar menunggu keberangkatan tdi bandara sedari pagi berkawan dengan teh manis panas dan batang-batang kretek sambil menatap tetes-tetes air hujan yang lebih berasa seperti air mata.

Baru kemarin sedianya kami bertemu beliau untuk preview film kami. Sebuah film yang salah satunya diinisiasi oleh beliau sendiri. Baru semalam juga saya berkesempatan pulang ke rumah setelah berhari-hari mengerjakan tahapan post-pro di Jogja. Tapi Allah berkehendak lain. Kabar kepergian beliau sungguh membuat kami semua shock.

Bagi saya beliau seperti analogi-cermin untuk nasehat-nasehat normatif yang sering saya dengar sejak kecil. Paling tidak itu kesan saya, al-faqir yang bukan siapa-siapa ini, yang kebetulan selama lebih dari satu tahun mendapat barokah dari Allah bisa berinteraksi beberapa kali dengan beliau di akhir-akhir hayat beliau.

Ya, beliau adalah DR(Hc). Ir. KH. Shalahuddin Wahid (almaghfur lah), biasa disapa Gus Sholah, teman-teman Tebuireng akhir-akhir ini sering saya dengar menyebut beliau Abah Yai Sholah. Secara alami akhirnya saya terbawa ikutan memanggil beliau begitu.

Yang saya maksud nasehat-nasehat normatif itu seperti rendah hati, menghargai siapa saja yang beliau temui, tegas, cerdas, sampai konsep pemikiran beliau yang bagi saya cukup visioner dan out of the box, dengan mudah saya bisa menangkapnya dari sosok beliau. Bahkan dari beberapa kali berdiskusi dengan beliau, saya seperti menemukan teladan posisi ideal seorang Muslim; “Ummatan Wasathan”, moderat, pada sikap beliau. Satu kalimat yang selama ini hanya berasa semacam wacana kosong di awang-awang atas situasi umat Negeri ini.

Seingat saya, pertama kalinya pandangan saya terpaut dan lebih fokus memperhatikan sepak terjang dan pemikiran beliau adalah ketika perhelatan Muktamar ke-33 NU tahun 2015. Saya seperti menemukan mata air di tengah gurun dari statement-statement beliau yang saya ketahui dari media maupun kawan-kawan yang kebetulan mengikuti perhelatan suksesi lima tahunan nahdhiyyin tersebut. Ternyata masih ada sosok ideal untuk umat ini, untuk Negeri ini, batin saya saat itu. Rasanya tidak perlu saya tuliskan lagi statement-statement atas sikap beliau yang membelalakkan mata saya saat itu. Semua orang pastilah sudah tau karena banyak diliput media. Di hari kepergian beliau ini pun quote-quote beliau kembali bertebaran di media sosial maupun media mainstream. Hal itu semakin menegaskan kerinduan umat yang amat sangat atas ketegasan sikap beliau demi kebenaran sekaligus kehilangan yang mendalam atas ikut perginya sikap itu bersama beliau untuk selamanya.

Ketika lima tahun kemudian saya dipertemukan dengan beliau, wah, rasanya seperti mendapat kucuran berkah yang melimpah. Semua berawal dari hanya kebetulan saat saya beruntung dipilih untuk menjadi sutradara sebuah project kerjasama LSBO Muhammadiyah dan PP. Tebuireng dalam pembuatan film sejarah dua tokoh besar KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asyári, Jejak Langkah 2 Ulama. Di mana executive producer film tersebut adalah KH. Syukrianto dan beliau sendiri, Abah Yai Sholah.

Sebagaimana sebuah project besar, film yang bagi saya cukup berat, saat pertama kali pertemuan dengan beliau dan pak Syukrianto waktu itu, tentu saja saya beranggapan akan ditanya seputar showreel atau portfolio saya sebagai sutradara atau treatment dan konsep seperti apa yang akan saya terapkan buat film ini dan sejenisnya. Saya  pun memang sudah siapkan diri untuk menjawab itu. Eh, ternyata tidak. Beliau malah lebih suka membahas asal-usul saya yang memang asli arek nJombang atau sedikit latar belakang pendidikan saya. Lalu beliau melanjutkan dengan obrolan-obrolan lain menyangkut umat, bangsa dan banyak hal. Alih-alih melakukan presentasi, saya malah cukup bahagia menyimak pemikiran-pemikiran beliau sambil sesekali terpancing ikut urun pendapat dan diskusi. Begitu pun pertemuan-pertemuan kami selanjutnya sepanjang proses produksi film berlangsung baik di Tebuireng, di ndalem beliau di Jakarta ataupun komunikasi-komunikasi pesan beliau untuk saya yang disampaikan melalui berbagai pihak saat kami belum sempat bertemu.

Amanah bagi Negara sejak didirikan salah satunya wajib mencerdaskan kehidupan Bangsa. Mas Sigit bisa hitung berapa sekolah Negeri di Indonesia?”, tanya beliau di satu obrolan. Saya berniat diam dulu sambil mencoba membaca arah pembicaraan sampai beliau melanjutkan. “Sekarang coba dihitung lembaga pendidikan yang didirikan oleh umat Islam bahkan sejak dari jaman penjajahan?”. Nggak nyangka ternyata saya masih juga diam. “Kalau begitu siapa yang sesungguhnya mencerdaskan bangsa ini? Wis gak usah kakean cangkem (sudah gak perlu banyak teori)”, tutup beliau yang membuat saya semakin diam. Hanya kali ini ada reflek tambahan senyum dan anggukan kepala saya. Itu hanya salah satu obrolan bersama beliau yang sangat berkesan bagi saya.

Sekira satu minggu lalu beliau sempat berpesan kepada kami bahwa beliau bersama Pak Haidar Nashir dan beberapa tokoh NU dan Muhammadiyah berkenan mereview hasil film pada tanggal 2 Februari di Jombang. Sempat berembug dengan saya dan tim post-pro soal kesiapan, para produser mencoba memundurkan waktu menjadi tanggal 9 Februari. Abah Yai tegas menolak, tidak mau berubah, intinya harus tanggal itu. Tanpa pikir panjang kami pun segera booking satu studio bioskop NSC di Kota Jombang untuk tanggal tersebut.

Tanggal 29 Februari saya pun terbang ke Jogja untuk final-check hasil CGI dan color grading dengan planning untuk selanjutnya pergi ke Jombang pada tanggal 1 Februari. Namun tanggal 31 malam kami mendapat kabar bahwa Abah Yai ada tindakan medis di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta. Karena itu akhirnya kami sepakat preview kami pindahkan ke gedung PP. Muhammadiyah Jakarta mendekati beliau. Setelah lembur sampai pagi, kami bersama kurang-lebih 13 orang tim post-pro kemudian berangkat ke Jakarta menggunakan minibus. Sesampai di gedung PP Muhammadiyah, Menteng jam 04:00 subuh, kami langsung bergerak men-setting proyektor, layar, speaker dan sebagainya. Hingga jam 09:00, para tamu mulai berdatangan. Tanpa sempat mandi ataupun sekedar mengganti pakaian, kami bersama teman-teman Maksi-Tebuireng menyambut kedatangan para tamu yang hadir, di antaranya Ibu Nyai Sholah, pak Syukrianto, Gus Umar Wahid, Kiai Kikin dan Ibu Nyai, Gus Ipang Wahid, Gus Billy Wahid, Ning Mutia, Gus Adib, juga para kiai-kiai lain dari Tebuireng yang sengaja terbang ke Jakarta pagi itu seperti Gus Riza dan Gus Fahmi yang kebetulan juga bermain dalam film ini. Menurut mas Amin, asisten pribadi beliau, nama-nama tersebut memang Abah Yai sendiri yang meminta dan membuat list agar hadir dalam pemutaran hari itu.

Saya merasa ada yang kurang. Abah Yai Sholah kok belum rawuh? Tapi saya berusaha diam, mencoba husnuddzon meski ada rasa khawatir yang mendalam dengan kondisi kesehatan beliau. Benar saja, tepat setelah pemutaran film selesai dan hanya sempat berdiskusi sebentar, tiba-tiba Ibu Nyai dan seluruh dzuriyyah segera berpamitan setelah mendapat kabar dari pihak Rumah Sakit atas kondisi Abah Yai yang katanya kritis.

Singkat cerita, rombongan tim post-pro pun kembali ke Jogja sore itu, kecuali saya yang memutuskan untuk pulang dulu ke rumah beberapa hari. Di rumah, lepas shalat Maghrib, reflek saya mengambil al-Qurán. Entah kenapa saya merasa ingin sekali sekedar membaca surah Yasin dengan niat khusus mengirimkan doa untuk Abah Yai. Setelah itu sempat menanyakan kabar perkembangan ke Mas Amin. Mas Amin hanya menjawab dengan emoticon sedih. Saya paham, pastilah situasi di RS sangat hectic saat itu. Sayangnya saya tak sengaja terlelap. Mungkin karena dua hari sebelumnya tidak cukup tidur.

Hujan deras masih mengiringi pesawat yang saya tumpangi ketika akhirnya take off dari Jakarta. Langit seakan kompak, dua jam kemudian landing di Surabaya hingga melanjutkan perjalanan darat menuju Jombang pun nuansa sendu dan hujan deras itu tetap setia menunjukkan rasa kehilangan yang amat dalam. Sekira pukul 15:50 saya memasuki Cukir disambut lautan manusia. Di saat macet tak bergerak itu saya justru mendapat kabar bahwa prosesi pemakaman dimajukan menjadi pukul 15:00 tadi. Tak apalah, dengan berjubelnya pentakziyah seperti ini sepertinya itu menjadi keputusan yang tepat dari pihak keluarga. Beruntung, saya masih berkesempatan menyampaikan bela sungkawa kepada Bu Nyai dan putra-putra beliau di ndalem Tebuireng dan alhamdulillah diperbolehkan pula memasuki pusara almarhum untuk memanjatkan doa dan membaca tahlil bersama rombongan tim dari mixpro Jogja. 

Meski kurang lebih hanya satu tahun saja kami mendapat kesempatan intens berinteraksi dengan beliau, tapi itu adalah satu tahun yang penuh kenangan, penuh pelajaran, ibrah dan barokah yang sulit untuk tidak kami syukuri. Walaupun masih tersimpan penyesalan yang sangat dalam di dada saya karena belum sempat menunjukkan karya kita bersama hingga akhir perjalanan beliau Almaghfur lah.

Kami bersaksi di hadapan Allah, Abah Yai Sholah adalah pribadi yang baik, menentramkan serta guru dan teladan yang sangat menginspirasi. Selamat jalan Abah Yai…. Allah lebih menyayangi Yai… Biarlah diam-diam saya merasa menjadi santri nJenengan.

O ya, belakangan saya baru sadar, ternyata sore itu di atas pusara Gus Sholah adalah untuk pertama kalinya saya memimpin tahlil di pemakaman di mana seluruh makmum yang mengikuti bacaan saya adalah saudara-saudara dari  Muhammadiyah, termasuk cicit kandung KH. Ahmad Dahlan sekaligus produser film JL2U, mas Andhika Prabhangkara dan musisi mas Adhit Jikustik. Nothing weird, anyway. Semoga Abah Yai tersenyum melihat kami dari alam sana…



Catatan dari Kereta malam Jombang-Jogja, 02022020.


Read more ...
02 November 2017

JULIA Mencari tuhan | Pergulatan batin yang belum selesai.

Begitu kurang/lebih kesan semampir di benak saya sesaat setelah membaca novel karya Atika C. Larasati ini. Menceritakan pergolakan pemikiran spiritual seorang wanita bernama Julia dalam mencari eksistensi Tuhan sejak dalam kandungan hingga dewasa, menurut saya novel ini apik dari sisi cara bertutur, lugas meski terkesan berhati-hati dan seringkali saya temui ada kegamangan, berusaha jujur untuk menghindari keberpihakan, dan yang menarik, ada keabsurdan ide yang cukup jeli ketika dengan gaya ‘akuan’ penulis berani memaparkan dengan gamblang pengaruh situasi luar terhadap dirinya bahkan saat ia masih berupa janin dalam alam kandungan.

Terlahir dari orang tua berbeda keyakinan, memaksa Julia kecil berada pada posisi rumit dalam mengakomodir pemahaman spiritual yang seringkali terkonfrontasi. Apalagi perdebatan dan pertengkaran kedua orang tuanya tentang masalah keyakinan ini terus berlangsung dari waktu ke waktu. Pertanyaan demi pertanyaan, protes demi protes seputar ketuhanan tercerabut keluar dengan sendirinya dari kepala gadis kecil Julia yang barangkali secara volume otak belum saatnya menghadapi situasi tersebut.

Hingga secara psikologis, pergolakan pemikiran yang belum selesai di masa kecil itu membentuk pribadi Julia dewasa yang menurut saya masuk dalam kategori ‘skeptic’. Sepertinya ia masih saja belum mampu yakin meski pencarian dan perburuan panjang ia telusuri. Mulai dari filosofi secangkir espresso favorit hingga kehidupan romansa dalam cara-cara penilaian subjektifnya terhadap relijiusitas lawan jenis yang menawan perhatiannya.

Sebenarnya ini adalah problem klasik di negara dengan heteroginitas agama seperti di Indonesia. Tiba-tiba saya jadi merasa, bukan sepenuhnya eksistensi Tuhan yang sedang diburu oleh Julia.  Buktinya ia sempat berfikir bahwa ia tetap berdoa dalam diam dan begitu yakin doa itu didengarNya, meski ia sedang berdiri di persimpangan antara keyakinan Ayah ataukah Ibunya.

Sejatinya yang sedang diburu Julia juga korban-korban lain yang senasib dengannya adalah metode, sabiil, the way, atau jalan yang benar menuju Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Metode itulah yang biasa diperdebatkan sebagai “kebenaran”. Seringkali keterpurukan batin menjadi modal awal mempertanyakan keadilan dan kasih sayang Tuhan. Padahal keadilan dan kasih Tuhan sudah lebih dulu kita terima bahkan sejak dalam kandungan secara sistematis sebelum keterpurukan itu sendiri. Sistem metabolisme kandungan ibu yang memanjajan janin, oksigen gratis yang terhirup, grafitasi dan tak terhitung lagi banyaknya kasih dan keadilan itu akan begitu saja terlupakan saat kita mempertanyakannya dalam kondisi psikologi dan logika yang sedang lemah tertutup ego.

Saya pribadi memahami metode itu sebagai ‘wahyu’ yang harus dipahami sebagai rentetan sejarah panjang yang logis ketika diterima akal dan hati. Artinya untuk sementara saya harus mengabaikan moral oknum manusia untuk bisa fokus pada ajaran kebenaran itu sendiri dalam rangka mencapai jalan Tuhan. Bukankah tanpa agama bahkan tanpa tuhan sekalipun moral kita tetap akan dikategorikan sebagai tercela jika seenaknya meludahi orang lain? Sebaliknya, sedikit simpati menolong kaum lemah adalah tetap disebut kebaikan meskipun di bumi yang tak kenal agama. Artinya, agar tidak distract, fokus kepada ajaran kebenaran, abaikan sementara perilaku amoral sedikit pemeluknya jika ada, akan membuka jalan logika simetris dengan kebenaran itu sendiri.

Anyway, Pergolakan batin karakter bernama Julia dalam novel ini menarik untuk disimak sebagai bahan pemikiran dan diskusi dalam proses kita bergumul dalam heteroginitas agama di Negara besar ini. Namun demikian tetap kedepankan prinsip “tak ada paksaan dalam beragama”. Pihak manapun yang memaksakan keyakinan, pasti akan menemui perlawanan. Sebab dalam keyakinan aqidah tidak ada jalan tengah. Jika meyakini hitam, otomatis menolak yang putih dan sebaliknya.

Selamat membaca, selamat mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan kritis Julia dalam novel setebal 160 halaman ini…
Read more ...
03 Desember 2016

Hari Ini Saya Memilih Menjadi "Bodoh"



Pasca Aksi Super Damai 212, semua orang pada sibuk teriakkan berbagai analisa dengan angle sesuai "kemauan" masing-masing. Itu wajar, karena hidup ini memang pilihan bebas. 


Sementara mereka pemilik moment besar itu, yaitu para pelaku yg berjibaku turun ke monas dengan segala daya upaya, malah sudah gak mikirin apa-apa lagi selain ikhlas dan gembira karena 'perjuangan' mereka berakhir damai seperti yang sudah mereka rencanakan jauh hari. Mereka pulang diam-diam ke rumah dan daerah masing-masing dengan ongkos dan akomodasi sendiri-sendiri.


Politik? Haha... ini gak ada urusan dengan politik, apalagi SARA. Mayoritas mereka bahkan gak peduli dengan politik. Siapa? Anak-anak belasan tahun itu? Kakek-nenek 80 tahunan itu? Atau seorang difabel yang datang dengan kursi roda itu? Ah, nyang bener aja.


Justru respon pemerintah, media mainstream  dan The Nyinyirers lah yang dengan semena-mena membawa aksi ini jadi seakan peristiwa politik praktis. politisi mana di dunia ini yang mampu mendatangkan jutaan, sekali lagi jutaan manusia dari penjuru Nusantara dengan biaya dan fasilitas sendiri-sendiri?


Masalahnya mereka terlalu focus sama Habib Rizieq. Beliau hanya salah satu muslim yang turut berjuang. Bagi saya pribadi, gak ada satu pun manusia yang sanggup mengumpulkan jutaan manusia sebanyak itu dengan kesadaran penuh dan ongkos masing-masing, termasuk Habib Rizieq atau Ust. Bachtiar Natsir. Lahh, terus siapa? Ya pikir aja ndiri...


Ya, memang saya berkali-kali bilang bahwa hidup ini pilihan bebas. Tapi apa ya perlu bikin aksi-aksi tandingan dengan sebutan Bhineka, maksain banget biar yang 212 atau 411 terkesan anti bhineka, intoleran dsb. Saya kira itu justru politis. Ah, sudahlah..


Saya? Hmmm.. sejujurnya saya masih saja tertunduk, belum mampu mengangkat kepala akibat pukulan telak anak-anak muda Ciamis itu. Sangat telak, mereka ajarin saya tentang kata "BERKARAKTER" dalam arti yang sesungguhnya.


Silent Hero. Ya, itu sebutan saya buat mereka. Selama menyangkut Allah dan RasulNya yang mereka cintai, mereka bergerak maju tanpa ribet cari alasan. Gak banyak mulut, tanpa keluhan, meski jelas-jelas terbentang 300 Kilo Meter titian terik dan hujan menuju Ibukota. 


Sebagian bilang mereka konyol. Ya gapapa, lagi-lagi hidup ini pilihan bebas. Tapi bagi saya lebih konyol lagi orang yang berpikir bahwa kualitas semua manusia sama kayak dirinya. Mereka yakin bener berpikir bahwa kualitas santri-santri ini kalo gak ada bus gak jadi berangkat. Emang kalian..!?


Mau ketawa? Yuk ketawa bareng, tapi pelan-pelan aja biar ga ada yang tersinggung. Yang model begitu emang layak diketawain. Toh sekali lagi, hidup ini pilihan bebas, bukan? 


Terimakasih Dik, Nak, Mbah, Bu, para Mujahid dari Ciamis... Kalian luar biasa. Seketika mengingatkan saya militansi Jenderal Soedirman dan gerilyawannya, Pangeran Diponegoro bersama santri-santrinya, Bung Tomo dengan arek-arek Suroboyonya, dan masih banyak lagi para pahlawan Nusantara (Allahummaghfir lahum) yang memungkinkan kita bisa merasakan punya harga diri, paling tidak sampai hari ini.


Tolong doakan saya. Seperti kalian, semoga Yang Esa membimbing saya, bagaimana seharusnya berdiri mengikuti hati nurani seperti cara seorang hamba laki-laki berdiri...


Biarkan mereka mencibir. Bukankah ketika melawan, Pangeran Diponegoro dan para santri dulu juga dicibir oleh kaum pribumi yang sudah terlanjur nyaman memakan gaji gulden, sementara anak-anak mereka menjadi ningrat baru yang bersekolah di sekolah Belanda?


Biarlah mereka menganggap bodoh.

Maka hari ini saya rela memilih menjadi 'bodoh' daripada selamanya saya tidak sadar bahwa saya ini 'bodoh'. 


Sebab definisi dari jaahil murokkab atau bodoh kuadrat adalah; "Laa yadri annahu laa yadri". Jadi yang lebih bodoh dari si 'bodoh' adalah mereka yang tidak tahu bahwa dirinya bodoh.


Wallaahu a'lam...

Ampuni saya Yaa Rabb...

Read more ...
07 Oktober 2016

Buku Trimurti, Upaya Visualisasi Titik Berangkat Perjalanan Gontor




Sejak awal menerima buku ini, saya sudah gak sabar ingin segera membaca. Bukan saya sebegitunya haus bacaan, tapi memang sudah lama saya mereka-reka visual cerita sejarah yang tentu sudah sering saya dengar tentang tiga tokoh pendiri Pondok Modern Gontor, para Kyai dan guru-guru saya, Trimurti, Allah Yarhamuhum.

Mereka-reka visual? Ya. Mungkin karena hobi dan profesi saya yang biasa bertugas memvisualkan konsep, dan karena itu juga saya menggunakan istilah “Visualisasi” dalam sub judul catatan ini.

Tapi sebenarnya bukan semata itu. Menurut saya manusia selain makhluk sosial, dia juga makhluk visual. Allah men-disain otak kita bekerja secara visual. Psikolog Tony Buzan berpendapat bahwa otak manusia bekerja dengan gambar dan asosiasi. Sebab itu dia menyajikan metode Mind Mapping dalam upaya visualisasi ide. Buktinya, ketika kita mendengar atau membaca sebuah cerita, otak kita otomatis memetakan suasana set lokasi, karakter dan bodytype tokoh dalam cerita dan seterusnya. Bukan deretan teks atau mimik si pencerita yang kita bayangkan.

Dan jangan lupa bahwa secara sejarah dan tradisi, masyarakat kita sejak dulu adalah masyarakat penonton, bukan masyarakat pembaca. Budaya Menonton sudah menjadi budaya bangsa kita sejak ratusan tahun silam. Ketoprak, wayang kulit, ludruk dan banyak lagi, terbukti mampu menjadi media komunikasi penyampaian pesan cukup efektif kepada masyarakat luas, baik oleh kalangan penguasa maupun tokoh-tokoh religi seperti Sunan Kalijaga dengan wayang kulitnya dsb.
Barangkali begitulah jawaban saya ketika pernah suatu hari ditanya oleh para sahabat dan asatidz tentang kemungkinan mem-film-kan buku ini. Tentu saja masih banyak fariabel lain yang harus dipenuhi untuk mewujudkan sebuah film dari catatan sejarah yang luar biasa ini.

Seperti biasa membaca buku sejarah, tentu saya sudah menyiapkan diri sedang berhadapan dengan sebuah karya sastra sejarah ataukah sebuah catatan peristiwa biasa dengan metode jurnalisme biasa. Melahap buku Trimurti ini, jujur ada sedikit kebimbangan dalam saya bersikap.

Tentu saja kita tidak bisa semena-mena menilai buku Trimurti ini sebagai karya sastra biasa dengan berbagai subyektifitas penulisnya. Sebagai sebuah buku, Trimurti ini cukup memuat alur informasi dan ideologi para pendiri Gontor secara akurat sesuai nara sumber yang tersisa. Sebagai sebuah catatan sejarah, memang ada detil yang hilang secara imajinasi visual saya sebagai pembaca. Saya maklum, betapa complicated-nya melakukan riset dengan merunut sejarah panjang perjuangan beliau-beliau dalam waktu dan media terbatas.

Saya cukup memahami kesulitan yang dihadapi tim Etifaq, saudara Muhammad Sanusi dan kawan-kawan, penulis buku Trimurti ini. Di mana Trimurti adalah sebuah catatan sejarah perjuangan para Tokoh dengan 3 katakter dan peran berbeda, di waktu dan tempat yang sporadis tapi untuk satu tujuan yaitu pendidikan ummat. Bukan perkara mudah memilih menulis fakta sejarah atau sekedar menyajikan cuplikan informasi semacam jurnalistik tentang kilasan suatu peristiwa. Apalagi menyangkut banyak hal yang harus diakomodir.

Saya tertarik ketika catatan buku ini sempat berangkat dari Pesantren Tegalsari yang fenomenal meski tidak banyak. Penulis juga memberi porsi pada sisi emosional untuk mencoba menyentuh sisi sensitif pembaca dengan memberi pondasi kuat berupa touch of maternity dari Ibunda Nyai Santoso. Ya, ibu adalah bahasa hati yang universal. Saya kira penulis cukup cerdas membangun keseluruhan tulisan dengan pondasi peran penting seorang wanita yang luar biasa, Nyai Santoso, ibunda Trimurti.

‘Ala kulli hal, sebagai orang yang sudah sering mendengar ceritanya, saya masih cukup punya sense of curiousity ketika membaca buku ini. Sebagai catatan singkat sejarah sebuah lembaga pendidikan yang mendunia seperti Pondok Modern Gontor, publik berhak tau, bukan hanya alumni atau keluarga saja. Sudah saatnya perjuangan KH. Ahmad Sahal, KH. Zainuddin Fanani dan KH. Imam Zarkasyi menjadi salah satu referensi penting perjuangan Bangsa dan Islam pada khususnya sebagai pelajaran berharga bagi siapa saja.


Catatan Sigit Ariansyah

Disampaikan dalam acara Bedah Buku Trimurti di PPM Assalam Bangsal Mojokerto, Jawa Timur.



Read more ...
04 Januari 2015

Ultah Dua Manusia Terkasih


Suatu hari bertahun lalu ketika aku masih duduk di bangku setara SMP. Entah kenapa aku yang biasanya lebih suka diam-diam menggambar atau lebih tepatnya corat-coret sendiri atau melamun saat guru mengajar di kelas, hari itu aku seperti tak sengaja terhipnotis mencermati seorang pengajar Sejarah Islam yang sedang membacakan bagaimana bentuk fisik dan sifat-sifat Nabi Muhammad SAW dari sebuah buku tebal kumpulan hadits. "Betapa sempurna dan berkarakternya manusia pilihan ini," begitu kira-kira hatiku bergumam saat itu.

Betapa perawakan Nabi SAW yang tidak terlalu tinggi tapi tidak pendek, rambutnya tidak keriting tak pula lurus, raut beliau yang tak terlalu bulat tidak juga persegi, kulit cerah, putih kemerahan, dahi lebar rambut sebahu, bola mata hitam dengan bulu mata melentik indah, selalu tampil bersih dan wangi, langkahnya lebar dan tegap saat berjalan, menebar senyum pada siapapun, menyayangi anak-anak dan sangat romantis terhadap para istri, tak pernah marah atau membalas jika dirinya diperlakukan buruk, beliau baru marah ketika Allah dan ajarannya dinista, meski beliau seorang panglima perang dan khalifah yang sangat sukses. Dan banyak lagi sifat sikap beliau yang memukau dan menjalari ruang imajinasiku hari itu.

Sampai ketika sang pengajar menerangkan hari kelahiran beliau yaitu hari Senin, tanggal 12 Rabi'ul Awwal tahun Gajah, imajinasiku pun makin liar mempersoalkan berbagai hal. Disebut tahun gajah karena berbarengan dengan peristiwa besar gagalnya raja Abrahah dari Ethiopia dan pasukan gajahnya yang hendak menyerbu Mekah untuk menghancurkan ka'bah. Mereka lari terbirit-birit oleh kawanan burung Ababil pelempar kerikil dari Sijjiil.

Apa yang tersisa dari imajinasi liarku tentang hari kelahiran Nabi SAW saat itu, muncul pertanyaan sepele dan kekanakan, "Kira-kira seperti apa ya, orang yang lahir dengan tanggal dan bulan yang sama dengan Nabi Muhammad SAW ini?".

Sebuah pertanyaan imajiner tak penting dari seorang anak kecil yang sudah pasti segera akan menguap dan terlupakan tak lama setelahnya. Aku pun melupakan pertanyaan itu, kembali tenggelam dalam berbagai gerak dan kegalauan lain.

Percaya atau tidak, bertahun tahun setelah itu, ketika aku sudah duduk di bangku kuliah (atau mungkin juga sudah mulai males-malesan kuliah? :D), pertanyaan liar itu terjawab dengan sendirinya bahkan tanpa aku pertanyakan kembali. Pada suatu malam perayaan Maulid Nabi SAW di kampungku entah tahun berapa aku sudah lupa, tiba-tiba saja nenekku berkata datar . "Ibumu lahir di tanggal yang sama dengan Rasulullah SAW. Persis 12 Rabu'ul Awwal, juga di hari Senin..."

"Nahh...?! Ibundaku tercinta? Lahir di tanggal 12 Rabi'ul Awwal? Tepat di hari Senin pula...?" Aku yang tadinya dengerin omongan nenek sambil lalu saja seperti biasanya, seketika menghentikan mulutku memonyong mengunyah entah cemilan apa saat itu. Bengong, melongo beberapa saat. Aku pun memastikan lagi pada ibuku yang juga ada di situ. Ibuku juga mengiyakan dengan ekspresi datar saja. Sepertinya akulah orang dengan perasaan dan ekspresi paling heboh saat itu. Mereka tidak tahu. Memang tidak ada yang tahu kebetulan luarbiasa ini.

Dan hari ini, 12 Rabi'ul Awwal 1436 bertepatan dengan 3 Januari 2015 kalender matahari, tiba-tiba aku senyum-senyum sendiri mengingat peristiwa pemikiran liar puluhan tahun lalu itu, yang mungkin hanya aku sendiri yang tau sampe hari ini.

Selamat ulang tahun Sang teladan, Rasul Allah shallaahu 'alaihi wa sallam... Selamat ulang tahun Ibundaku tercinta... Dua manusia pertama yang mengenalkan SATU ideologi di dadaku. Semoga berkah dan kasih Allah selalu memuliakan Anda berdua.... Aamiiin...

Cileungsi, 12 Rabi'ulawwal 1436 | 3 Januari 2014
Read more ...
20 Juli 2014

Empati untuk Palestina. Salah?


Soal Palestina itu, 

Mmm... Menurutku gini ya bros...


Ada dari kita yang tersentuh atas nama humanisme, tepat.. memang wanita dan anak2 dibantai dg kejam di sana.

Ada yang berpendapat itu hanya soal sengketa tanah, ya gak salah, toh dunia sepakat kolonialisme harus dihapuskan dari muka bumi..?

Ada sebagian umat Islam kebetulan merasa solider, ya monggo aja.. faktanya penduduk yg jadi korban di sana 80% Muslim...


Bagi yang kebetulan diberi harta lebih, silahkan sumbang dg harta...

Bagi yg dianugerahi otak brilliant, monggo sumbangkan solusi pemikiran...

Bagi yang punya tenaga dan waktu luang mau jadi relawan ke sana, ya boleh2 aja...

Bagi yang baru bisa sekedar mendoakan, itu pun mulia sekali...

Bahkan yg hanya mampu sharing berita di socmedpun pasti ada manfaatnya. Itu sebuah sikap. 

So speak out...!


Ya... memang gak semua Yahudi itu Zionis. Gak semua mereka ikut tertawa dg agresi berumur puluhan tahun itu.

Ya... mungkin gak semua strategi Hamas bisa dibenarkan... 

Tapi lihat, gak ada kata politik dalam daftar empati di atas... 


Aku yakin, sebagian mereka yang getol bantu di Palestina juga sudah pernah jadi relawan di pedalaman Indonesia Timur, bencana Aceh, Sinabung, Merapi dsb.


Terus alasan apalagi yang harus dicari2 untuk diributin? 


Jadi, di mana posisi Anda?


Jika mampu, silahkan saja berbuat sesuai kapasitas dan alasan anda, hormati kapasitas dan motivasi orang lain yang beda. Bukannya begitu cara toleransi bekerja..? 


O ya, aku setuju untuk kita tidak upload gambar2 yang cenderung sadis di wall public...



NOTE: 

Ini bukan surat buka-bukaan.. Ini aku ngomong sendiri... :D


Piss... :)

Read more ...
28 Juni 2014

Memikirkan Kebaikan di Pintu Ramadhan




Dalam hidup ini, ada hal yang harus dipikir dalam-dalam, ada juga yang tak perlu.

Bagi saya, ibadah-ibadah yang jelas telah diwajibkan Allah adalah salah satu yang tak perlu saya pikir dua-tiga kali. Berusaha jalani saja semampu saya, lalu nikmati.

Seperti kata Newton, "Jangan terlalu banyak berfikir, jangan banyak berkedip jika tak mau gagal..!".
Ya, gagal karena kehilangan anugrah bekal refleks dan insting manusiawi kita akibat terlalu memaksakan logika. Logika yang sejak kemarin kita sangka tak berbatas.

Bagian tersulit dari setiap ibadah dan perbuatan baik adalah 'memulai' dan 'ikhlas' (menghindar dari rasa bangga berlebihan). Jika harus berpikir, mungkin memikirkan strategi dua tantangan itu akan lebih diperlukan.

Percayalah, saya tidak sedang menggurui siapapun, tapi saya hanya sekedar menuliskan dialektika antara hati dan otak saya sendiri, untuk saya sendiri...

Selamat beribadah Ramadhan bagi sahabat2 yang menjalankan... Maafkan khilaf dan salah saya yang bejibun itu. Semoga Allah ridho dengan limpahan ampunan dan berkahNya pada kita semua... 

Aamiiin....
Read more ...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

AddThis

follow