Jika tidak sedang menonton, anda pasti sedang ditonton. Sebab drama adalah anda, saya dan secuil ruang dunia yang sedang kita bagi ini....
20 Maret 2011

Membaca Sabda Palon


Membaca Sabda Palon, saya cukup terbawa suasana masa lalu tanah moyang kita yang konon memang  terkenal penuh dengan gegap-gempita ambisi, persaingan dan intrik. Kata ‘terbawa’ saya gunakan untuk merepesentasikan emosi selama membaca. Ada ketertarikan, juga bangga, kadang miris, terharu dan seringkali penasaran, tidak percaya.

Sebagai manusia yang lahir di sekitar Trowulan, saya jadi sering berharap siapa tahu moyang saya adalah salah satu ksatria gagah perkasa itu, syukur-syukur sang Raja atau Rani, kalaupun tidak yaah keturunan Jaka Tarub dan Nawangwulan boleh lah.. (silahkan menghina saya sambil ketawa guling-guling…).

Sejarah memang sudah mencatat, Nusantara di sekitar abad ke-14 adalah masa transformasi yang begitu heboh. Tidak hanya transformasi kekuasaan dan politik (geografis), tapi juga menyangkut transformasi spiritual dan ideologi. Bahkan Thailand sudah lebih dulu membuat film kolosalnya yang melibatkan kata ‘Jawa’, salah satunya Queen Of Langkasukha (Ini juga bisa jadi bahasa lain bahwa saya selalu pengen memfilmkan Majapahit dengan sebenarnya dan belum kunjung berhasil…). 

Novel Sabda Palon ini tampaknya bertumpu di sekitar itu, bermedium penyebaran awal agama Islam serta kedatangan para saudagar dan ksatria China untuk lebih leluasa mengatakan betapa Nusantara ini terbangun dari heterogenitas atau multi-culture. Lalu hadirnya tokoh Sabda Palon dan Naya Genggong  dengan agama Budi-nya menjadi begitu pas seperti yang diinginkan penulis untuk mengkritisi fanatisme ideologi yang menggerogoti bangsa ini sejak kejatuhan Majapahit hingga saat ini. 

Siapapun Damar Shasanka, dia story-teller yang cukup berbakat. Cerita panjang dengan plot yang sangat random bahkan seperti hampir tidak ada main-plot  yang menjembatani keseluruhan cerita kecuali satu benang merah; Majapahit,  dia berhasil menahan saya untuk tidak buru-buru mengalihkan perhatian saya ke Manohara dengan Sinetron Supergirl-nya itu atau Sinetron lucu lain bertitel Anak Yang Tertukar atau apalah... Damar Shasanka juga berhasil menyamarkan antara catatan sejarah, imajinasi dan mungkin hasil olah batin penelusurannya dengan narasi-narasi licin yang cukup cerdas.

Akhirnya saya menamatkan buku luar biasa ini dengan beragam kecamuk di kepala ini. Selain belum dapat kepastian siapa moyang saya, saya juga masih bodoh dengan hal-hal di luar catatan sejarah dan imajinasi. Saya termasuk yang anti fanatisme berlebih apalagi sampai membunuh ideologi lain yang berseberangan dengan saya. Tapi saya juga belum berani menyimpulkan bahwa kejatuhan Majapahit dan keterpurukan bangsa ini hingga sekarang adalah karena ideologi tertentu. Sebab jika terpuruk itu maksudnya setelah dibandingkan dengan Amerika atau Jepang, saya punya ukuran sendiri. Satu hal, saya selalu bangga dengan manusia yang bangga dengan tanah dan moyangnya sendiri  dengan karya seperti ini. Semoga karya-karya seperti ini terus berlanjut…

Lohh..! jadi moyang saya itu siapa ya…???
Read more ...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

AddThis

follow