
Sejak awal menerima buku ini, saya sudah gak sabar ingin segera membaca. Bukan saya sebegitunya haus bacaan, tapi memang sudah lama saya mereka-reka visual cerita sejarah yang tentu sudah sering saya dengar tentang tiga tokoh pendiri Pondok Modern Gontor, para Kyai dan guru-guru saya, Trimurti, Allah Yarhamuhum.
Mereka-reka visual? Ya. Mungkin karena hobi
dan profesi saya yang biasa bertugas memvisualkan konsep, dan karena itu juga
saya menggunakan istilah “Visualisasi” dalam sub judul catatan ini.
Tapi sebenarnya bukan semata itu. Menurut
saya manusia selain makhluk sosial, dia juga makhluk visual. Allah men-disain
otak kita bekerja secara visual. Psikolog Tony Buzan berpendapat bahwa otak
manusia bekerja dengan gambar dan asosiasi. Sebab itu dia menyajikan metode Mind Mapping dalam upaya visualisasi
ide. Buktinya, ketika kita mendengar atau membaca sebuah cerita, otak kita
otomatis memetakan suasana set lokasi, karakter dan bodytype tokoh dalam cerita
dan seterusnya. Bukan deretan teks atau mimik si pencerita yang kita bayangkan.
Dan jangan lupa bahwa secara
sejarah dan tradisi, masyarakat kita sejak dulu adalah masyarakat penonton,
bukan masyarakat pembaca. Budaya Menonton sudah menjadi budaya
bangsa kita sejak ratusan tahun silam. Ketoprak, wayang kulit, ludruk dan
banyak lagi, terbukti mampu menjadi media komunikasi penyampaian pesan cukup
efektif kepada masyarakat luas, baik oleh kalangan penguasa maupun tokoh-tokoh
religi seperti Sunan Kalijaga dengan wayang kulitnya dsb.
Barangkali begitulah jawaban saya ketika pernah
suatu hari ditanya oleh para sahabat dan asatidz tentang kemungkinan
mem-film-kan buku ini. Tentu saja masih banyak fariabel lain yang harus
dipenuhi untuk mewujudkan sebuah film dari catatan sejarah yang luar biasa ini.
Seperti biasa membaca buku sejarah, tentu
saya sudah menyiapkan diri sedang berhadapan dengan sebuah karya sastra sejarah
ataukah sebuah catatan peristiwa biasa dengan metode jurnalisme biasa. Melahap buku
Trimurti ini, jujur ada sedikit kebimbangan dalam saya bersikap.
Tentu saja kita tidak bisa semena-mena menilai buku
Trimurti ini sebagai karya sastra biasa dengan berbagai subyektifitas
penulisnya. Sebagai sebuah buku, Trimurti ini cukup memuat alur informasi dan
ideologi para pendiri Gontor secara akurat sesuai nara sumber yang tersisa.
Sebagai sebuah catatan sejarah, memang ada detil yang hilang secara imajinasi
visual saya sebagai pembaca. Saya maklum, betapa complicated-nya melakukan riset dengan merunut sejarah panjang
perjuangan beliau-beliau dalam waktu dan media terbatas.
Saya cukup memahami kesulitan yang dihadapi tim
Etifaq, saudara Muhammad Sanusi dan kawan-kawan, penulis buku Trimurti ini. Di
mana Trimurti adalah sebuah catatan sejarah perjuangan para Tokoh dengan 3
katakter dan peran berbeda, di waktu dan tempat yang sporadis tapi untuk satu
tujuan yaitu pendidikan ummat. Bukan perkara mudah memilih menulis fakta
sejarah atau sekedar menyajikan cuplikan informasi semacam jurnalistik tentang
kilasan suatu peristiwa. Apalagi menyangkut banyak hal yang harus diakomodir.
Saya tertarik ketika catatan buku ini sempat berangkat
dari Pesantren Tegalsari yang fenomenal meski tidak banyak. Penulis juga
memberi porsi pada sisi emosional untuk mencoba menyentuh sisi sensitif pembaca
dengan memberi pondasi kuat berupa touch
of maternity dari Ibunda Nyai Santoso. Ya, ibu adalah bahasa hati yang
universal. Saya kira penulis cukup cerdas membangun keseluruhan tulisan dengan
pondasi peran penting seorang wanita yang luar biasa, Nyai Santoso, ibunda
Trimurti.
‘Ala kulli hal, sebagai orang yang sudah sering mendengar
ceritanya, saya masih cukup punya sense
of curiousity ketika membaca buku ini. Sebagai catatan singkat sejarah
sebuah lembaga pendidikan yang mendunia seperti Pondok Modern Gontor, publik
berhak tau, bukan hanya alumni atau keluarga saja. Sudah saatnya perjuangan KH.
Ahmad Sahal, KH. Zainuddin Fanani dan KH. Imam Zarkasyi menjadi salah satu
referensi penting perjuangan Bangsa dan Islam pada khususnya sebagai pelajaran
berharga bagi siapa saja.
Catatan Sigit Ariansyah
Disampaikan dalam acara Bedah Buku Trimurti di PPM Assalam
Bangsal Mojokerto, Jawa Timur.
‘Ala kulli hal, sebagai orang yang sudah sering mendengar ceritanya, saya masih cukup punya sense of curiousity ketika membaca buku ini.
BalasHapus