Jika tidak sedang menonton, anda pasti sedang ditonton. Sebab drama adalah anda, saya dan secuil ruang dunia yang sedang kita bagi ini....
20 September 2007

The Greatest Story of Love Ever...


Atmosfir Ramadhan tiba-tiba seperti membawa saya untuk sedikit merenung dari angle berbeda, sedikit lebih spiritual. Barangkali volume otak ini saja yang selama ini melulu berorientasi horizontal. Mungkin saya tidak perlu meminta maaf jika ada yang beranggapan tulisan ini tidak match dengan tema blog. Kalaupun harus minta maaf, ya saya minta maaf karena tidak meminta maaf. So, maaf ya...

Sebab saya sangat setuju dengan pendapat bahwa film dan kehidupan sebenarnya memiliki saling keterkaitan. Bicara film berarti bicara kehidupan beserta tetek-bengeknya termasuk sisi spiritual. Bicara problematika hidup adalah drama panjang sejarah kehidupan manusia yang datang silih berganti selama berabad-abad.

Well, berpuasa memang berat (untuk level saya). Sejak kecil, ketika saya bertanya kenapa harus berpuasa, semua orang menjawab dengan jawaban yang bagi pemahaman saya sangat manjanjikan tapi kadang justru sebaliknya, mendebarkan, seperti; biar dapat pahala banyak, biar masuk sorga atau biar tidak disiksa dan sejenisnya.

Barangkali itu benar! Tapi apakah hanya itu? Hanya ketakutan saja? Lalu di mana posisi rasa cinta dan syukur untuk Sang Pencipta Segala yang merupakan bagian amat penting dalam ritual ibadah kita?

Dulu saya pernah berpikir, jika perintah puasa hanya bertujuan sekedar membuat kita lemas karena lapar dan haus, mungkin sudah lama saya keluar dari agama saya dan barangkali memilih agama film saja. Nyatanya tidak demikian. Dengan puasa saya merasakan kesejukan luar biasa justru karena pernah mengalami kekeringan. Sejahat apa sih manusia yang nggak pernah berpikir untuk berhenti berbuat jahat lalu ingin bertobat?

Saya membayangkan, andai sekian detik saja Tuhan menghentikan suply oksigen untuk dunia, betapa megap-megapnya kita. Inilah yang membuat saya tidak pernah menemukan alasan untuk tidak mencintai Sang Penyuplai oksigen itu. Kalaupun harus berpuasa, kenapa tidak dengan alasan cinta saja? kenapa harus karena takut disiksa? Bukankah itu hanya akan menghentikan rasa cinta kita kepada-NYA dan seketika akan merubahnya menjadi rasa takut yang jelas tidak mungkin sama dan sebanding dengan ketulusan cinta. Bahkan yang sering kita rasakan justru hanya sebatas takut rejekinya seret. Hanya itu..!?

Itu sama saja pelajaran terpopuler yang telah membentuk mental kita sampai sekarang ”Berbaik-baiklah, nurutlah sama juraganmu biar disukai, lalu gajimu naik dan kamu cepat kaya”. Bukankah lebih sportif dan fair kalau nasehat itu berbunyi ”Bekerjalah yang giat dan bertanggung jawab, berkaryalah yang bagus agar kamu maju, perusahan tempat kamu bekerja juga maju dan kamu pun menjadi berarti sebagai karyawan”.

Whateva....

Tuhan mewajibkan puasa pun saya yakin dengan penuh kasih sayang untuk sebuah tujuan yang bermanfaat bagi kita dan jelas pada akhirnya untuk kita juga. Karena tanpa kita sembah atau kita patuhi perintah-NYA, Dia tetaplah menjadi Tuhan dan akan tetap berkuasa penuh atas dunia berikut tetek-bengeknya.

Saya teringat kegigihan seorang Rabi’ah al-Adawiyah, wanita sufi yang teramat saya kagumi kemurnian cintanya.

Suatu hari Rabi’ah membawa air ditangan kiri dan obor ditangan kanan “kemana engkau akan pergi Rabi’ah?” seseorang bertanya. “saya akan ke langit untuk membakar surga dan memadamkan api neraka. Agar keduanya tak menjadi alasan manusia menyembah Allah. Sekiranya Allah tak menjadikan surga sebagai pahala dan neraka sebagai siksa, masih adakah diantara manusia yang menyembah-Mu?”

Subhanallah...! Saya jadi berpikir, apakah Allah sampai harus menjanjikan surga dan mengancam dengan neraka sedemikian rupa untuk meraih pamor dari manusia yang notabene adalah karya cipta-Nya sendiri? Saya lebih yakin bahwa manusialah yang membutuhkan Allah, bukan stigma terbalik seperti yang menancap di pemahaman yang saya terima selama ini.

Sementara saya masih berkutat dengan puasa sambil gak berhenti ngebayangin kopi dan rokok, dengan gagah berani Rabi’ah al-Adawiyah berteriak menegadah ke langit:

"Tuhanku, kalau aku mengabdi kepadaMu karena takut akan api neraka, masukkanlah aku ke neraka itu, dan besarkanlah tubuhku dalam neraka itu, sehingga tidak ada tempat lain di neraka itu bagi hamba-hambaMu yang lain. Kalau aku menyembahMu berharap mendapat surga, berikan surga itu kepada hamba-hambaMu yang lain sebab bagiku Engkau sudah cukup".

Begitu dahsyatnya Rabi’ah al-Adawiyah mencintai Tuhannya. It’s so touching, pure, sincerely love and exactly The Greatest Story of Love ever…


Read more ...
01 September 2007

'Ju-Dou'

Feodalisme dan Eksotisme Tragis di Abad 20


Pernah nonton ‘
Ju-Dou’ kan?
Saya memang nggak berkeinginan un
tuk mengulas ditail film yang diperani Gong Li dan Li Baotian ini layaknya seorang kurator atau kritikus. Saya hanya terpukau dengan kecerdasan film yang diproduksi tahun 1990 ini ditambah lagi dengan gaya storrytelling-nya Zang Yi Mou yang meski cenderung lambat tapi mampu menahan bokong saya hingga credit title usai di 95 menit terakhir.

Disajikan dalam sebuah Drama Rural khas dataran Cina, Ju-Dou mencoba mengungkap kontroversi yang sebenarnya klasik, yaitu a Man Power dan local tradition power pada 1920an yang begitu mencolok di Cina (dunia?). Digambarkan, bagaimana cara pandang Jin-Shan seorang laki-laki pemilik Jin-Shan’s dye factory yang cukup powerful. Ia dengan paksa memperistri Ju-Dou, seorang wanita muda yang tak berdaya setelah dua istri sebelumnya meninggal karena ulahnya yang cenderung seperti seorang psycho tapi impoten. Hadirnya Yang Tian-qing, keponakan Jin-Shan untuk bekerja di sana membuat babak baru dalam alur menjadi romantic, passionate, melankolis dan berakhir tragis.

Siapapun akan tergila-gila dengan kemolekan Ju Dou yang diperankan dengan pas oleh Gong Li. Begitupun Yang Tian-qing yang mau nggak mau tiap malam mendengar Ju Dou merintih dan menjerit kesakitan karena disiksa oleh sang paman, siang harinya ia justru berkesempatan mengintip tubuh seksi bibinya itu saat mandi. Seperti dua sisi mata uang, di sini saya menangkap, Zang Yi Mou dengan cerdas membubuhkan rasa iba yang menyentuh sisi lain kelelakian yang diwakili oleh Yang Tian-qing. Selanjutnya ia tempatkan Ju Dou di posisi yang tidak punya pilihan kecuali jatuh cinta yang luar biasa kepada sosok laki-laki yang begitu care sama dia itu, dengan hati Bung, bukan paksaan orang tua atau lingkungan a la feodalism. Itu bertolak belakang dengan sang paman yang tampil mewakili sadism dan powerful-nya laki-laki yang menurut saya overtone.

Diantara pergulatan gairah dan bahasa hati yang tervisual dengan fotografi yang sangat eksotik melalui cahaya-cahaya terobosan matahari Cina serta rural landscape dan artistik khas Cina-feodal yang memukau, sumpah! saya dan mungkin penonton lain sempat benar-benar dibuat menghalalkan perselingkuhan itu, bahkan menikmatinya. Bukan erotisme low-taste yang saya tangkap, tapi sensualitas pergumulan yang sangat menyentuh.

Namun lahirnya seorang anak dalam koloni ganjil itu kemudian menjadi benang merah yang tiba-tiba membalikkan saya untuk menghentikan pembelaan atas nama dendam kesumat. Sempat, saya merasa sebagai penonton yang nggak punya pendirian. Tapi kenyataanya oleh Tuhan saya dibekali hormon yang bisa membuat saya iba juga saat menyaksikan Pak Tua yang kemudian lumpuh dan telah kehilangan segalanya, hanyai si kecil yang ia harapkan sebagai anak kandung yang akan memakai marga keluarga di belakang namanya. Meski jelas, he’s not..!

Kenyataanya, si kecil dibuat dengan lugu menyukai Pak Tua dan membenci kedua orang tuanya. Anak ini, oleh Zang Yi Mou seringkali dijadikan suspense yang cukup berhasil membuat saya ketir-ketir (ini bahasa kutub). Katakanlah cukup sorot mata si anak yang terasa misterius, atau shocking di adegan mengejar seorang tetangganya dengan parang terhunus. Dan dialah yang menyelesaikan alur yang menurut saya kuerreeen itu dengan tragis.

Film yang dibuat tak berselang lama setelah tragedy Tian'anmen Square massacre (4 Juni1989) ini, menurut saya berhasil menambah deretan daftar hitam bentuk-bentuk kekerasan dalam bungkus tradisi feodalism dan sisi revolusi politik di Cina pada abad ke 20. Pantas saja jika film ini dinominasikan di Academy Award untuk kategori Best Foreign Film, di-screening di Canes Film Festival dan banyak festival kelas dunia lain.

Brilliant..! batin saya spontan. Zang Yi Mou dengan genius berbicara menggunakan elemen air sekaligus api untuk membunuh karakter-karakter yang tidak dia pilih atas nama baik dan buruk hanya dengan si kecil. At least, dia tidak menjadi sutradara Cina yang menyelesaikan setiap masalah hanya dengan duel kalah-menang atau dialog bertele-tele. Setidaknya, kali ini saya nggak menemukan dialog yang berbunyi ”Dasar tak berguna...!” di film cina. Hehe...

Eksotisme Cina memang sudah menjadi milik dunia sejak lama melalui tangan-tangan dingin Sutradaranya seperti Zang Yi Mou, Chen Kaige, Tian Zhuangzhuang dan lain-lain melalui film-film mereka yang cerdas. Mereka telah berhasil memaksa dunia membuka mata dan mengangguk untuk Negeri mereka.

Kita? Alhamdulillah kita punya Saur Sepuh, Joko Tingkir, Sultan Agung dan banyak lagi. Bahkan sekarang ini, ada tarian dan nyanyian yang tiba-tiba menyelip di sela pepohonan Nusantara kita yang rindang melalui layar kaca (bentar lagi ada kobra juga lho, glek...!.). Ohh.... alangkah indahnya merah-putih berkibar diiringi tetabuhan yang entah gimana dulu ceritanya, genrenya mirip-mirip dangdut yang kita punya...

_______________________________________

Genre : Drama, Rural
Cast : Gong Li, Li Baotian
Produced by : Tokuma Shoten / China Film
Film Producer : Zhang YiMou
Durasi : 95 min
Film Director : Zhang YiMou

___________________________________________


Read more ...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

AddThis

follow