Jika tidak sedang menonton, anda pasti sedang ditonton. Sebab drama adalah anda, saya dan secuil ruang dunia yang sedang kita bagi ini....
01 September 2007

'Ju-Dou'

Feodalisme dan Eksotisme Tragis di Abad 20


Pernah nonton ‘
Ju-Dou’ kan?
Saya memang nggak berkeinginan un
tuk mengulas ditail film yang diperani Gong Li dan Li Baotian ini layaknya seorang kurator atau kritikus. Saya hanya terpukau dengan kecerdasan film yang diproduksi tahun 1990 ini ditambah lagi dengan gaya storrytelling-nya Zang Yi Mou yang meski cenderung lambat tapi mampu menahan bokong saya hingga credit title usai di 95 menit terakhir.

Disajikan dalam sebuah Drama Rural khas dataran Cina, Ju-Dou mencoba mengungkap kontroversi yang sebenarnya klasik, yaitu a Man Power dan local tradition power pada 1920an yang begitu mencolok di Cina (dunia?). Digambarkan, bagaimana cara pandang Jin-Shan seorang laki-laki pemilik Jin-Shan’s dye factory yang cukup powerful. Ia dengan paksa memperistri Ju-Dou, seorang wanita muda yang tak berdaya setelah dua istri sebelumnya meninggal karena ulahnya yang cenderung seperti seorang psycho tapi impoten. Hadirnya Yang Tian-qing, keponakan Jin-Shan untuk bekerja di sana membuat babak baru dalam alur menjadi romantic, passionate, melankolis dan berakhir tragis.

Siapapun akan tergila-gila dengan kemolekan Ju Dou yang diperankan dengan pas oleh Gong Li. Begitupun Yang Tian-qing yang mau nggak mau tiap malam mendengar Ju Dou merintih dan menjerit kesakitan karena disiksa oleh sang paman, siang harinya ia justru berkesempatan mengintip tubuh seksi bibinya itu saat mandi. Seperti dua sisi mata uang, di sini saya menangkap, Zang Yi Mou dengan cerdas membubuhkan rasa iba yang menyentuh sisi lain kelelakian yang diwakili oleh Yang Tian-qing. Selanjutnya ia tempatkan Ju Dou di posisi yang tidak punya pilihan kecuali jatuh cinta yang luar biasa kepada sosok laki-laki yang begitu care sama dia itu, dengan hati Bung, bukan paksaan orang tua atau lingkungan a la feodalism. Itu bertolak belakang dengan sang paman yang tampil mewakili sadism dan powerful-nya laki-laki yang menurut saya overtone.

Diantara pergulatan gairah dan bahasa hati yang tervisual dengan fotografi yang sangat eksotik melalui cahaya-cahaya terobosan matahari Cina serta rural landscape dan artistik khas Cina-feodal yang memukau, sumpah! saya dan mungkin penonton lain sempat benar-benar dibuat menghalalkan perselingkuhan itu, bahkan menikmatinya. Bukan erotisme low-taste yang saya tangkap, tapi sensualitas pergumulan yang sangat menyentuh.

Namun lahirnya seorang anak dalam koloni ganjil itu kemudian menjadi benang merah yang tiba-tiba membalikkan saya untuk menghentikan pembelaan atas nama dendam kesumat. Sempat, saya merasa sebagai penonton yang nggak punya pendirian. Tapi kenyataanya oleh Tuhan saya dibekali hormon yang bisa membuat saya iba juga saat menyaksikan Pak Tua yang kemudian lumpuh dan telah kehilangan segalanya, hanyai si kecil yang ia harapkan sebagai anak kandung yang akan memakai marga keluarga di belakang namanya. Meski jelas, he’s not..!

Kenyataanya, si kecil dibuat dengan lugu menyukai Pak Tua dan membenci kedua orang tuanya. Anak ini, oleh Zang Yi Mou seringkali dijadikan suspense yang cukup berhasil membuat saya ketir-ketir (ini bahasa kutub). Katakanlah cukup sorot mata si anak yang terasa misterius, atau shocking di adegan mengejar seorang tetangganya dengan parang terhunus. Dan dialah yang menyelesaikan alur yang menurut saya kuerreeen itu dengan tragis.

Film yang dibuat tak berselang lama setelah tragedy Tian'anmen Square massacre (4 Juni1989) ini, menurut saya berhasil menambah deretan daftar hitam bentuk-bentuk kekerasan dalam bungkus tradisi feodalism dan sisi revolusi politik di Cina pada abad ke 20. Pantas saja jika film ini dinominasikan di Academy Award untuk kategori Best Foreign Film, di-screening di Canes Film Festival dan banyak festival kelas dunia lain.

Brilliant..! batin saya spontan. Zang Yi Mou dengan genius berbicara menggunakan elemen air sekaligus api untuk membunuh karakter-karakter yang tidak dia pilih atas nama baik dan buruk hanya dengan si kecil. At least, dia tidak menjadi sutradara Cina yang menyelesaikan setiap masalah hanya dengan duel kalah-menang atau dialog bertele-tele. Setidaknya, kali ini saya nggak menemukan dialog yang berbunyi ”Dasar tak berguna...!” di film cina. Hehe...

Eksotisme Cina memang sudah menjadi milik dunia sejak lama melalui tangan-tangan dingin Sutradaranya seperti Zang Yi Mou, Chen Kaige, Tian Zhuangzhuang dan lain-lain melalui film-film mereka yang cerdas. Mereka telah berhasil memaksa dunia membuka mata dan mengangguk untuk Negeri mereka.

Kita? Alhamdulillah kita punya Saur Sepuh, Joko Tingkir, Sultan Agung dan banyak lagi. Bahkan sekarang ini, ada tarian dan nyanyian yang tiba-tiba menyelip di sela pepohonan Nusantara kita yang rindang melalui layar kaca (bentar lagi ada kobra juga lho, glek...!.). Ohh.... alangkah indahnya merah-putih berkibar diiringi tetabuhan yang entah gimana dulu ceritanya, genrenya mirip-mirip dangdut yang kita punya...

_______________________________________

Genre : Drama, Rural
Cast : Gong Li, Li Baotian
Produced by : Tokuma Shoten / China Film
Film Producer : Zhang YiMou
Durasi : 95 min
Film Director : Zhang YiMou

___________________________________________


Title: 'Ju-Dou'; Written by Sigit Ariansyah; Rating: 5 dari 5

5 komentar:

  1. well my dear...
    aku ingin memberikan sedikit sentilan dari suara hati ku.
    be honest, aku memang kurang suka dengan film china yang biasa nya beralur lambat. meski aku belum menonton nya, but based from ur story, i think its quite interesting =)
    mengenai film ini aku memang tidak bisa berkomentar banyak ( karena emang belom nonton, hehehe, lagi pula aku emang rada ilfil ma nama-nama china (ups maaf ini bukan rasis loh) tapi aku rada susah buat ngapalin nama china yang menurut aku tuh nama nya sama semua, hehehe, pasalnya gene-gene pernah blajar mandarin juga,susah melafalkannya ,,) anyway sory buat yang rada gak penting tadi diatas,
    aku hanya berpendapat bahwa film-film indonesia itu sebenarnya juga gak kalah indah, gak kalah kolosal dn gak kalah dengan etnik budaya dengan China. bahkan berani jamin deh, begitu pula sutradara nya yang gak kalah cerdas!!
    sebernarnya, ini adalah masalah budaya. KENAPA FILM-FILM CHINA SANGAT TERKENAL DI DUNIA???
    KARENA PUNYA CIRI KHAS!!
    tau khan tauching tiger dragon itu loh ( maaf jika salah tulis, wajar karena bukan penggemar film china)
    atau apa pun itulah yang berasal dari china, pasti deh dunia akan tahu dengan pemandangan budaya china, dengan kano-kano kayu di sungai kuning, dengan bambu-bambu nya, dengan kung fu or silat nya dengan pendekar-pendekarnya ( pendekar rajawali khalee) dengan pedang beserta ciri khas kepala botak di depan dan rambut panjang yang di ikat di belakang...
    NAH BISA DI TEBAK KAN, walau aku yang bukan penggemar film china aja bisa tahu sampai sebegitu detailnya....
    BAHWASANYA CHINA TERNYATA TIDAK MALU DENGAN BUDAYA NYA SENDIRI....
    sama aja dengan Hongkong yang terkenal dengan khas nya Mafia, or Jepang dengan samurai nya, India dengan hindu nya, Eropa dengan kerajaan nya, dan Amerika dengan liberalism nya....

    but take a look for our country.....
    ADA GAK FILM NEGARA KITA YANG GAK MALU UNTUK MENAMPILKAN BUDAYA KITA, CIRI KHAS KITA, atau gak pinjem gaya nya mtv deh ... KITAAAA BANGEEETTTS....

    MANA....????
    yang ada film-film kita itu justru malah syuting di Australia, Amerika, MAlaysia, a, a, a yang lain...
    but where is Indonesia??
    so,,, bagaimana bisa film-film kita mendapat appreciate di dunia internasional??

    MY DEAR...
    I KNOW....
    ITS YOUR JOB.........

    BalasHapus
  2. Sebelumnya aku koreksi dulu, judulnya crouching tiger hidden dragon yang dibintangi chou yun fat.

    ok saya setuju sekali mengenai ciri khas dari dita nury bahwa yang membuat film2x import alias film luar itu terkenal dan berkarakter karena mereka masing2x bangga menampilkan budaya dan lifestyle mereka secara gamblang, china dengan silat, baju koko' nya dll begitupun india dst, disamping memang cerita, penyutradraan, naskah dan trik2xnya .

    Namun film2x kita cenderung membeo dengan budaya luar, khususnya barat, jadi semacam ga punya karakter dan ceritanya pun tidak inovatif juga tidak kreatif. kalau boleh jujur saya lebih menyukai film2 sinetron produksi tvri, menurut saya ceritanya jauh dan jauh lebih bermutu dan mampu membuat saya duduk hingga akhir cerita, lain halnya dengan sinetron tv swasta atau layar emas, satu2nya yng membuat saya duduk lama mungkin HANYA karena bintang2x wanitanya yang cantik2x SELEBIHNYA tidak.

    Film2x tvri mengangkat realitas sosial yang aktual dan faktual sekali tidak memberikan mimpi2 disiang bolong kepada pemirsanya, juga benar2x khas indonesia, begitupula ceritanya mendidik dan memberi daya tarik bagi pemirsanya meskipun para pemainnya tidak setampan dan secantik bintang2 sinetron produksi multivision dll.

    BalasHapus
  3. 2 Thumb up buat Zhang Yi Mou!!!
    Zhang Yi Mou berhasil melakukan persenggamaan antara sebuah realitas sosial dan pengembaraan intelektual yang akhirnya melahirkan Ju Dou.

    Kapan ya.. Indonesia berani untuk jujur terhadap dirinya sendiri????

    BalasHapus
  4. optimislah saya yakin suatu saat film indonesia bisa berjaya dipentas dunia

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

AddThis

follow