Nggak banyak tentang nasionalisme yang bisa membuat saya merinding setelah semangat bambu runcing nenek moyang kita dahulu. Tapi yang ini saya akui, saya terharu dan bangga dan merinding dan.. dan.. dan…!
Itu lebih dari cukup membuat saya melupakan kekalahan yang faktanya hanyalah bersifat angka-angka score. Bagi saya dan mungkin bagi bangsa ini, secara moral kitalah pemenangnya dengan cukup fair dan jantan tanpa harus menggangu pemain lawan dengan tindakan-tindakan licik (untuk tidak menyebut pengecut) seperti yang diterima pemain kita saat bermain tandang.
Supporter Indonesia tetap menyambut tim kesayangan sejak latihan di lapangan, di hotel dan di bandara, bahkan dukungan itu nggak juga padam meskipun timnas akhirnya kalah. Di sini saya menangkap, betapa loyalitas mereka benar-benar didedikasikan bagi sebuah perjuangan, untuk 'the real hero' mereka. Bukan dukungan untuk sekedar sekeping piala, tropi atau medali semata. Hari gini, di republik ini, nggak banyak yang bisa menerima loyalitas sebesar ini dari masyarakat.
Saya berani jamin, andai bus rombongan timnas beserta pengawal dan vorijder mereka membelah kemacetan di Jakarta, maka tak ada satu pun yang protes atau keberatan. Justru mereka akan dielu-elukan. Tapi coba presiden, apalagi menteri yang mendahului dengan pengawalan khusus saat kita lagi macet. Rasanya pasti dongkol dan arrghhhhh..!!!!
Kenapa begitu?
Simple saja, rakyat tahu betul siapa pahlawan mereka yang sesungguhnya dan siapa yang memaksakan diri agar dianggap 'pahlawan'. Padahal pahlawan yang sebenarnya, seringkali tidak peduli apakah dia pahlawan atau bukan.
Percayalah "Garuda di dadaku" tak akan pernah berhenti bergaung dalam hati rakyat..!
Hey, yok opo sampeyan? Ratih kiii... Wis lali mesti ;p
BalasHapusAlhamdulillah.. apik tih... weleh.. mosok lali... yo gak mungkin... :)
BalasHapus