Jika tidak sedang menonton, anda pasti sedang ditonton. Sebab drama adalah anda, saya dan secuil ruang dunia yang sedang kita bagi ini....
03 Desember 2016

Hari Ini Saya Memilih Menjadi "Bodoh"



Pasca Aksi Super Damai 212, semua orang pada sibuk teriakkan berbagai analisa dengan angle sesuai "kemauan" masing-masing. Itu wajar, karena hidup ini memang pilihan bebas. 


Sementara mereka pemilik moment besar itu, yaitu para pelaku yg berjibaku turun ke monas dengan segala daya upaya, malah sudah gak mikirin apa-apa lagi selain ikhlas dan gembira karena 'perjuangan' mereka berakhir damai seperti yang sudah mereka rencanakan jauh hari. Mereka pulang diam-diam ke rumah dan daerah masing-masing dengan ongkos dan akomodasi sendiri-sendiri.


Politik? Haha... ini gak ada urusan dengan politik, apalagi SARA. Mayoritas mereka bahkan gak peduli dengan politik. Siapa? Anak-anak belasan tahun itu? Kakek-nenek 80 tahunan itu? Atau seorang difabel yang datang dengan kursi roda itu? Ah, nyang bener aja.


Justru respon pemerintah, media mainstream  dan The Nyinyirers lah yang dengan semena-mena membawa aksi ini jadi seakan peristiwa politik praktis. politisi mana di dunia ini yang mampu mendatangkan jutaan, sekali lagi jutaan manusia dari penjuru Nusantara dengan biaya dan fasilitas sendiri-sendiri?


Masalahnya mereka terlalu focus sama Habib Rizieq. Beliau hanya salah satu muslim yang turut berjuang. Bagi saya pribadi, gak ada satu pun manusia yang sanggup mengumpulkan jutaan manusia sebanyak itu dengan kesadaran penuh dan ongkos masing-masing, termasuk Habib Rizieq atau Ust. Bachtiar Natsir. Lahh, terus siapa? Ya pikir aja ndiri...


Ya, memang saya berkali-kali bilang bahwa hidup ini pilihan bebas. Tapi apa ya perlu bikin aksi-aksi tandingan dengan sebutan Bhineka, maksain banget biar yang 212 atau 411 terkesan anti bhineka, intoleran dsb. Saya kira itu justru politis. Ah, sudahlah..


Saya? Hmmm.. sejujurnya saya masih saja tertunduk, belum mampu mengangkat kepala akibat pukulan telak anak-anak muda Ciamis itu. Sangat telak, mereka ajarin saya tentang kata "BERKARAKTER" dalam arti yang sesungguhnya.


Silent Hero. Ya, itu sebutan saya buat mereka. Selama menyangkut Allah dan RasulNya yang mereka cintai, mereka bergerak maju tanpa ribet cari alasan. Gak banyak mulut, tanpa keluhan, meski jelas-jelas terbentang 300 Kilo Meter titian terik dan hujan menuju Ibukota. 


Sebagian bilang mereka konyol. Ya gapapa, lagi-lagi hidup ini pilihan bebas. Tapi bagi saya lebih konyol lagi orang yang berpikir bahwa kualitas semua manusia sama kayak dirinya. Mereka yakin bener berpikir bahwa kualitas santri-santri ini kalo gak ada bus gak jadi berangkat. Emang kalian..!?


Mau ketawa? Yuk ketawa bareng, tapi pelan-pelan aja biar ga ada yang tersinggung. Yang model begitu emang layak diketawain. Toh sekali lagi, hidup ini pilihan bebas, bukan? 


Terimakasih Dik, Nak, Mbah, Bu, para Mujahid dari Ciamis... Kalian luar biasa. Seketika mengingatkan saya militansi Jenderal Soedirman dan gerilyawannya, Pangeran Diponegoro bersama santri-santrinya, Bung Tomo dengan arek-arek Suroboyonya, dan masih banyak lagi para pahlawan Nusantara (Allahummaghfir lahum) yang memungkinkan kita bisa merasakan punya harga diri, paling tidak sampai hari ini.


Tolong doakan saya. Seperti kalian, semoga Yang Esa membimbing saya, bagaimana seharusnya berdiri mengikuti hati nurani seperti cara seorang hamba laki-laki berdiri...


Biarkan mereka mencibir. Bukankah ketika melawan, Pangeran Diponegoro dan para santri dulu juga dicibir oleh kaum pribumi yang sudah terlanjur nyaman memakan gaji gulden, sementara anak-anak mereka menjadi ningrat baru yang bersekolah di sekolah Belanda?


Biarlah mereka menganggap bodoh.

Maka hari ini saya rela memilih menjadi 'bodoh' daripada selamanya saya tidak sadar bahwa saya ini 'bodoh'. 


Sebab definisi dari jaahil murokkab atau bodoh kuadrat adalah; "Laa yadri annahu laa yadri". Jadi yang lebih bodoh dari si 'bodoh' adalah mereka yang tidak tahu bahwa dirinya bodoh.


Wallaahu a'lam...

Ampuni saya Yaa Rabb...

Read more ...
07 Oktober 2016

Buku Trimurti, Upaya Visualisasi Titik Berangkat Perjalanan Gontor




Sejak awal menerima buku ini, saya sudah gak sabar ingin segera membaca. Bukan saya sebegitunya haus bacaan, tapi memang sudah lama saya mereka-reka visual cerita sejarah yang tentu sudah sering saya dengar tentang tiga tokoh pendiri Pondok Modern Gontor, para Kyai dan guru-guru saya, Trimurti, Allah Yarhamuhum.

Mereka-reka visual? Ya. Mungkin karena hobi dan profesi saya yang biasa bertugas memvisualkan konsep, dan karena itu juga saya menggunakan istilah “Visualisasi” dalam sub judul catatan ini.

Tapi sebenarnya bukan semata itu. Menurut saya manusia selain makhluk sosial, dia juga makhluk visual. Allah men-disain otak kita bekerja secara visual. Psikolog Tony Buzan berpendapat bahwa otak manusia bekerja dengan gambar dan asosiasi. Sebab itu dia menyajikan metode Mind Mapping dalam upaya visualisasi ide. Buktinya, ketika kita mendengar atau membaca sebuah cerita, otak kita otomatis memetakan suasana set lokasi, karakter dan bodytype tokoh dalam cerita dan seterusnya. Bukan deretan teks atau mimik si pencerita yang kita bayangkan.

Dan jangan lupa bahwa secara sejarah dan tradisi, masyarakat kita sejak dulu adalah masyarakat penonton, bukan masyarakat pembaca. Budaya Menonton sudah menjadi budaya bangsa kita sejak ratusan tahun silam. Ketoprak, wayang kulit, ludruk dan banyak lagi, terbukti mampu menjadi media komunikasi penyampaian pesan cukup efektif kepada masyarakat luas, baik oleh kalangan penguasa maupun tokoh-tokoh religi seperti Sunan Kalijaga dengan wayang kulitnya dsb.
Barangkali begitulah jawaban saya ketika pernah suatu hari ditanya oleh para sahabat dan asatidz tentang kemungkinan mem-film-kan buku ini. Tentu saja masih banyak fariabel lain yang harus dipenuhi untuk mewujudkan sebuah film dari catatan sejarah yang luar biasa ini.

Seperti biasa membaca buku sejarah, tentu saya sudah menyiapkan diri sedang berhadapan dengan sebuah karya sastra sejarah ataukah sebuah catatan peristiwa biasa dengan metode jurnalisme biasa. Melahap buku Trimurti ini, jujur ada sedikit kebimbangan dalam saya bersikap.

Tentu saja kita tidak bisa semena-mena menilai buku Trimurti ini sebagai karya sastra biasa dengan berbagai subyektifitas penulisnya. Sebagai sebuah buku, Trimurti ini cukup memuat alur informasi dan ideologi para pendiri Gontor secara akurat sesuai nara sumber yang tersisa. Sebagai sebuah catatan sejarah, memang ada detil yang hilang secara imajinasi visual saya sebagai pembaca. Saya maklum, betapa complicated-nya melakukan riset dengan merunut sejarah panjang perjuangan beliau-beliau dalam waktu dan media terbatas.

Saya cukup memahami kesulitan yang dihadapi tim Etifaq, saudara Muhammad Sanusi dan kawan-kawan, penulis buku Trimurti ini. Di mana Trimurti adalah sebuah catatan sejarah perjuangan para Tokoh dengan 3 katakter dan peran berbeda, di waktu dan tempat yang sporadis tapi untuk satu tujuan yaitu pendidikan ummat. Bukan perkara mudah memilih menulis fakta sejarah atau sekedar menyajikan cuplikan informasi semacam jurnalistik tentang kilasan suatu peristiwa. Apalagi menyangkut banyak hal yang harus diakomodir.

Saya tertarik ketika catatan buku ini sempat berangkat dari Pesantren Tegalsari yang fenomenal meski tidak banyak. Penulis juga memberi porsi pada sisi emosional untuk mencoba menyentuh sisi sensitif pembaca dengan memberi pondasi kuat berupa touch of maternity dari Ibunda Nyai Santoso. Ya, ibu adalah bahasa hati yang universal. Saya kira penulis cukup cerdas membangun keseluruhan tulisan dengan pondasi peran penting seorang wanita yang luar biasa, Nyai Santoso, ibunda Trimurti.

‘Ala kulli hal, sebagai orang yang sudah sering mendengar ceritanya, saya masih cukup punya sense of curiousity ketika membaca buku ini. Sebagai catatan singkat sejarah sebuah lembaga pendidikan yang mendunia seperti Pondok Modern Gontor, publik berhak tau, bukan hanya alumni atau keluarga saja. Sudah saatnya perjuangan KH. Ahmad Sahal, KH. Zainuddin Fanani dan KH. Imam Zarkasyi menjadi salah satu referensi penting perjuangan Bangsa dan Islam pada khususnya sebagai pelajaran berharga bagi siapa saja.


Catatan Sigit Ariansyah

Disampaikan dalam acara Bedah Buku Trimurti di PPM Assalam Bangsal Mojokerto, Jawa Timur.



Read more ...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

AddThis

follow