Jika tidak sedang menonton, anda pasti sedang ditonton. Sebab drama adalah anda, saya dan secuil ruang dunia yang sedang kita bagi ini....
22 Maret 2008

LoVE is cRaZY huH...?!

Sebenarnya sudah lama saya ambil gambar di atas dan sedikit saya beri sentuhan design grafis spontan, semau apa yang saya pikir saat itu. Saya di Jogja ketika itu, kebetulan sedang ada sedikit gawe untuk promo dan casting sebuah film di kawasan Kotabaru.

Macam-macam sebutan yang kita nobatkan untuk mereka, dari Orgil, Sakit Jiwa, Gembel, Kere, Glandangan, Wong Edan, dan lagi dan lagi... bahasa-bahasa yang sama sekali nggak enak itu berulang kali kita tanamkan dalam otak bawah sadar ini berikut lingkungan sekitar kita sambil meringis, kadang terbahak.

Sesekali saya lihat mereka ngobrol, lebih tepatnya berbisik entah tentang apa. Yang jelas saya yakin, lakinya nggak sedang membual tentang KPR-BTN dan wanitanya juga nggak terlihat merengek minta Sedan sport dua pintu atau Grand Cherokee. Satu-satunya yang saya tangkap adalah rasa saling menyayangi yang luar biasa diantara mereka, ada kebahagian yang benar-benar murni yang bisa saya rasakan di wajah mereka.

Menurut saya hanya di sinilah pepatah ’dunia milik berdua’ benar-benar berlaku. Lha wong saya jeprat-jepret ngelilingin mereka berkali-kali, tetep aja mereka nggak mau menganggap eksistensi saya ’ada’ di situ. Barangkali bagi mereka saya cuma ngontrak di dunia ini, hehe...

Saya jadi berpikir, jika dua orang yang telah kita sepakati sebagai Si Sakit Jiwa itu sanggup menggetarkan cinta-kasih melalui jiwa mereka seromantis dan semurni itu, lantas disebut apa kita-kita yang seringkali mengisi jiwa dengan pemahaman cinta sangat sempit hanya dari jumlah roda tunggangan, TV-flat 2 inch atau Kulkas 24 pintu...?
(jangan protes, saya juga tau itu kebalik
).

Love emang crazy! Kembali lagi...

Seperti magnet, objek di atas memaksa saya untuk terus tekun mengamati, memalingkan mata ini dari hiruk-pikuk acara yang berjubel wanita-wanita cantik sedang ikut casting itu. Lamaaa sekali sebelum saya akhirnya tersadar untuk mengeluarkan kamera dan memotret mereka. Hanya itu, sayang sekali. Hanya memotret dan sedikit ngobrol yang lebih terasa basa-basi nggak nyambung, tanpa ada hal lain yang bisa saya lakukan.

Dan hari itu saya pun belajar dari mereka, seperti yang spontan saya tulis sebagai copywriting pada design grafis beberapa tahun lalu itu:

Seperti oksigen,
Cinta adalah perasaan indah
yang berhak dimiliki oleh siapa saja....”

Read more ...
17 Maret 2008

Blueberry Pie Rasa Hongkong

Andai tanpa sengaja saya lewat glodok dan melirik film ini lewat pesawat TV yang dijual di sana, 5 menit saja, dijamin saya akan tau bahwa ini gambar ciptaan Wong Kar Way. Setelah lebih dari setengah jam saya melototin film ini, seringkali saya lupa bahwa semua settingnya ada di Amrik. Masih untung pemain-pemainnya berwarna dan berstruktur tulang bule serta tidak berbahasa Canton

Hanya itu yang mengganjal di pikiran saya. Di luar angle-angle puitis, extreme close up, permainan refleksi cermin, slow motion seperti biasa, Wong Kar Way masih sedikit berbahasa asalnya dalam gambar-gambar My Blueberry Nights. Nuansa merah saga itu masih begitu berbicara meningkahi dark-blue yang dipilih untuk suasana malam Barat yang berkabut, tidak lagi dari kepulan asap dan sinar bohlam remang-remang milik penjual makanan kaki lima di pinggiran Hongkong.

Bergaya story-telling narrative seperti biasanya, Wong berusaha menganalogikan pergulatan Elizabeth (Norah Jones) yang berbagi kegelisahan dengan seorang pemilik cafe bernama Jeremy (Jude Law) melalui medium Blueberry Pie bertabur Vanilla Ice Cream yang tidak disukai orang dan selalu tersisa tiap kali café tutup.

Elizabeth yang gusar mempertegas kecemburuan batinnya saat Jeremy mengiyakan pertanyaan bahwa pacarnya sering datang ke cafe itu bersama wanita lain.

“Apa ia lebih cantik? Lebih sexy? Ataukah aku terlalu buruk...?”

Semua itu oleh Wong Kar Way ditarik menjadi sebuah perpisahan panjang untuk menguak jawaban bagi Elizabeth melalui pertemuannya dengan berbagai karakter lain dengan pergulatan problematika berbeda, diantaranya, Arnie (David Strathairn), Sue Lynne (Rachel Weisz), Leslie (Natalie Portman), Katya (Chan Marshall) di kota lain, namun tetap sama-sama di cafe.

Sepertinya Wong kesulitan menemukan muara baru (selain cafe, offcourse!) bagi pergumulan karakter-karakternya. Memang, ada scene jalanan padang rumput Amerika ala Hollywood style. Beberapa kali, karakter Sue Lynne beserta problematika keluarganyalah yang justru banyak menyadarkan saya bahwa ini setting di Amerika. Namun masih ada beberapa dramatic-response terasa tragic dan melancholic khas Wong Kar Way yang sulit untuk saya terima bahwa itu dilakukan oleh Americans in America.

Memang, Blueberry Pie bertabur Vanilla Ice Cream yang kurang laku itu hanyalah soal selera. Pada akhirnya justru sisa-sisa Vanilla Ice Cream yang belepotan di bibir Elizabeth itu benar-benar menjadi medium yang cerdas bagi Wong untuk menciptakan adegan kissing dari hi-angle yang sangat sexy. Meski untuk itu memerlukan penantian panjang sebelumnya. Seperti penantian kevakuman penonton yang saya bayangkan untuk film yang berjalan lambat ini memang terlalu lambat untuk sebuah film commercial yang tentunya diharapkan mengeruk dolar.

Overall, Wong Kar Way tetap menjadi dirinya yang luar biasa berpengaruh bagi banyak filmmaker dunia, khususnya art film.. Gambar-gambar puitis, iconic, beat-beat sensual pada backsoundnya, terobosan cahaya blue-nite yang romantis, dan entah apalagi yang akan keluar dari kepalanya setelah ini.

And I’ll be waitin’...

Read more ...
07 Maret 2008

Tukul and The Unseen-Power

Fast and Various...
Kurang lebih begitu kesan saya sehari bekerja bareng sosok Tukul Arwana. Maksudnya, shooting (untuk sebuah iklan) itu berjalan cepat dan tepat. Karena saya baru sadar, Tukul cukup cerdas melahap materi dialog sebanyak itu tanpa ada reading apalagi rehearsal di hari-hari sebelumnya. Hanya sekali saya nge-brief dia sebelum camera roll. Various, sebab saya harus merelakan banyak waktu break untuk membiarkan setiap orang di lokasi shooting berfoto bersama sang superstars.

Menarik mengamati perjalanan satu orang ini. Tiba-tiba saja ia melejit, dibicarakan dan menjadi icon. Tiba-tiba setiap orang pengen berfoto bersama dia. Barangkali jutaan orang bernafsu dan melakukan apa saja agar bisa terkenal. Tapi Tukul, tiba-tiba ia bangun pagi dan menjadi seorang superstars. Tiba-tiba?

Nggak juga..! Di sela shooting ia banyak bercerita kepada saya tentang masa lalunya yang pahit, perjalanan jatuh dan bangkitnya kembali untuk memperbaiki kualitas hidup keluarganya dan seterusnya. Sebenarnya semua orang tau itu, karena infotainment sangat hobi mengangkat kisah-kisah semacam ini. Kisah financial-hero bagi keluarga emang selalu menarik.

Tapi saya menangkap sisi lain dari sosok Tukul ini. Dia memiliki kecerdasan spiritual yang oke. Seperti, bagaimana dengan detail ia menggambarkan bahwa setiap makanan atau minuman yang ia dapatkan ia syukuri sejak berada di tangan, memasuki mulut, melewati tenggorokan hingga sampai di lambung dengan terus berusaha ikhlas dan sadar mengucapkan ’hamdalah’. Merutnya itu sudah berjalan lama dan ia terus berusaha untuk menjaganya.

Luar biasa..! Dari banyak usaha-usaha spiritual menuju sukses yang mampir di telinga, bagi saya ini yang paling logic. Yang lain, seperti mandi kembang, angka keberuntungan, ziarah makam keramat bla..bla..bla... Semua itu cukup membuat saya merasa bodoh mendengarnya. Sebaliknya, ada juga orang yang dengan over-sombong meyakini bahwa keberhasilanya adalah melulu karena kerja keras dan keuletannya semata, biasanya ditambahkan juga (tapi sedikit lebih halus) bahwa semua ini karena kecerdasannya. Ia sama sekali lupa dengan campur tangan apa yang saya sebut ’The Unseen Power’. Spesies beginian biasanya membuat saya memikirkan sebuah penemuan baru, menciptakan pintu electric otomatis lengkap dengan remote controlnya untuk telinga saya. Hehe...

Saya pikir pantas saja Tukul bisa sehebat sekarang ini. Bagaimana dengan jatuh lagi? Someday? I said: Nothing imposible. Setiap kita emang tidak hanya harus siap tapi juga harus kuat menerima ’Rahmat’, sekaligus ikhlas jika suatu saat tertimpa musibah. Lho! Ya.. iya laah... Menurut saya lagi, kita hanya bisa mengantisipasi tidak lebih dari 50% saja untuk mengendalikan setiap kejadian. Sisanya adalah wilayah di luar jangkauan logika kemanusiaan kita, wilayah milik The Unseen Power, wilayah yang membuat banyak orang menjadi gila karena ikut-ikutan mikirin. Semoga mas Tukul tetap sadar untuk tetap kuat berpegangan, di posisi yang juga sedang menjadi tujuan kebanyakan orang itu...

Read more ...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

AddThis

follow