Jika tidak sedang menonton, anda pasti sedang ditonton. Sebab drama adalah anda, saya dan secuil ruang dunia yang sedang kita bagi ini....
17 September 2008

Rama, Shinta and Me...

Rama dan Shinta adalah dua ekor monyet yang sedang terlibat dalam sebuah pergulatan emosi bercinta. Emosi yang sewajar dan senormalnya musti dilalui oleh setiap makhluk yang mengaku hidup ciptaan Tuhan. Menjadi begitu, karena memang Tuhan pun menciptakan rasa cinta sebagai bagian dari hidup, seperi Dia menciptakan oksigen atau air.

Sebulan lalu Rama merasa perlu untuk menumpahkan apa yang dirasa tentang sekelumit ’beat’ cinta melalui degub dadanya kepada Shinta sang monyet betina.

Shinta (seperti tradisi aneh perempuan lain): ”Apa harus aku jawab sekarang?”
Rama (pun mengikuti tradisi aneh para pria dengan menahan diri): ”Ya kalau belum ada jawaban aku tunggu sampai kamu siap...”

Hanya itu, dan setelah sebulan berjalan Shinta semakin bingung. Karena seperti bathinnya saat itu, ia seharusnya bisa mendapat lebih dari sekedar Rama yang hanya seekor monyet liar. Meski hati kecilnya harus mengakui bahwa sejak awal hatinya pun punya rasa sayang untuk tipikal Rama. Tapi sebagai betina, ia pun musti ikut-ikutan tradisi bahwa perempuan sebisa mungkin harus mendapatkan si raja monyet biar masa depan hidupnya bahagia, berlimpah dengan buah-buahan segar yang bebas kapanpun ia mau petik. Paling tidak se-level di atas Rama pun it’s fine laah...

Selain menunggu sambil sedikit melempar rayuan dan godaan maut pada setiap jantan yang dijumpainya terutama sang raja, Shinta pun semakin bimbang. Kini lebih banyak lagi jantan yang harus ia pertimbangkan dan semuanya menunggu jawaban. Jika mau jujur, ia lebih cenderung ke Rama, meski masih ada sesuatu yang mengganjal tentangnya, entah apa itu. Tapi, lagi-lagi ia harus menerapkan tradisi aneh kaum betina bahwa kesungguhan Rama harus diuji terlebih dulu. Maka Shinta pun merasa perlu untuk berpura-pura.

Rama: Sudah lebih sebulan dan kamu belum bisa menetapkan hatimu untuk niat baikku?
Shinta: Tidakkah kamu tau bahwa betina memang harus begitu?
Rama: Maksudmu harus menggantung dan menjadikan jantan sebagai pilihan?
Shinta: Mungkin itu benar, tapi betina juga harus malu.
Rama: Malu itu harus! Tapi jangan samakan dengan gengsi...
Shinta: Maksudmu?
Rama: Kalau mengakui isi hatimu saja kamu begiitu sombong, bagaimana kelak kamu harus merendahkan diri dengan menyayangi aku dan anak-anak kita?
Shinta (terdiam sebentar): Kok kamu jadi ge’er? Lagian belum lama kamu tau aku, kenapa sudah bilang cinta?
Rama (tersenyum): Bagiku waktu segitu sudah cukup untuk pahami isi hatiku.
Shinta: Kok bisa? Gimana jika kenyatan sesungguhnya aku adalah pelacur?
Rama: Aku akan tetap mencintaimu.
Shinta: Gombal!
Rama: Aku bersumpah!
Shinta: Kenapa?
Rama: Ya, hanya karena itulah aku disebut jantan.
Shinta: Hanya itu?
Rama: Karena aku selalu berusaha mencintai kelemahanmu.
Shinta (sinis): Emang kamu tau kelemahanku, Huh..?!
Rama: Sangat jelas.
Shinta (sewot): Sok tau! Emang kamu tau dari mana?
Rama (masih tersenyum): Karena sampai hari ini aku sudah berkali-kali dicintai dan mencintai betina karena kelebihan mereka yang tidak satu pun kelebihan-kelebihan itu kujumpai dari kamu sampai detik ini.

Shinta terdiam, tertunduk. Otaknya berputar keras berusaha menangkis kata-kata Rama, dadanya berdegub kencang menahan sakit hati, tapi batinnya belum mampu membantah ucapan monyet jantan dihadapannya.

Shinta: Sebenarnya apa yang sedang kamu harapkan dari aku?
Rama: Sebenarnya sederhana saja. Cintai aku karena kelemahanku. That’s it...
Shinta: Kenapa begitu?
Rama: Karena aku tau, terlalu banyak jantan yang kau cintai karena kelebihan mereka.

Rama melompat ke sebuah cabang pohon lain tak jauh dari Shinta yang semakin berkecamuk tak karuan. Di dalam dadanya masih terjadi silang sengkarut khas ala kaum betina, antara setuju, sakit hati, gengsi dan kesombongan. Tapi ternyata energinya terlalu lemah untuk pertarungan itu saat Rama berpamitan untuk pergi jauh dan sebisa mungkin tidak akan kembali lagi.

Rama: Mulai sekarang, lupakan semua ucapanku biar engkau lebih bebas memilih apa yang kau inginkan…

Rama melompat semakin menjauh hendak pergi.

Shinta: Rama...!

Rama terhenti, bergelantungan di sebuah cabang pohon tanpa menengokkan wajahnya ke arah Shinta yang menatapnya dalam-dalam.

Shinta (berbisik): Kini aku tau, kamulah jantan yang paling mencintai aku Rama... Kamulah jantan yang ingin kucintai selama ini...

Rama: Maafkan aku Shinta... Aku tidak ingin kau mencintai aku karena kau anggap aku sehebat itu. Aku hanya ingin kau mencintai kelemahanku agar hidup ini indah...

Shinta terguncang hebat. Ia hanya bisa menatap Rama yang mulai menjauh. Tapi belum begitu jauh, tiba-tiba Rama kembali berhenti. Kali ini ia menengok, menatap wajah Shinta dalam-dalam.

Rama: Ada yang lupa kukatakan... Aku baru sadar hari ini, sungguh! ternyata kau saangat cantik.... Selamat tinggal Shinta...

Rama kini melompat sangat jauh dan benar-benar menjauh.

”Monyet sialan.. monyet sok....!”
Saya menggerutu habis-habisan karena puluhan biji kacang yang saya lemparkan, hanya beberapa saja yang termakan. Sampai saya menangkap ekspresi tunduk yang luar biasa dari monyet betina di dekat saya. Sesekali masih menatap si jantan yang kini berkerumun dengan betina-betina lain di ujung kandang sebelum tertunduk kembali.

Saya pun ngga bisa untuk ngga tertegun menatap ekspresi jujur di hadapan saya. Tapi itu real sekali dari seekor monyet. Saya memang termasuk yang kurang yakin akan kebenaran theori Darwin, tapi ngga bisa mengelak juga dengan bukti empiris bahwa monyet mempunyai volume otak cukup besar. Sampai saya menebak dan merangkaikan bahasa romance yang menurut saya luar biasa tersaji begitu saja di hadapan saya sebagai anugerah.

Tentu saja, biar saya dedikasikan karya ini untuk 'para monyet' sajalah...



(WARNING: Original story by Sigit Ariansyah for International Short Film Festival)


Read more ...
16 September 2008

Zakat Maut itu...

Mau mulai menulis dari mana, saya bingung!

Rasanya seperti hampir meledak, hari ini saya berkumur dengan nasi yang tiba-tiba hambar di mulut melongo saat TV di depan saya menyajikan berita duka yang sesungguhnya terjadi setiap tahun. 21 orang ibu-ibu dan nenek-nenek tewas kehabisan oksigen dan puluhan lagi dirawat dirumah sakit ketika berebut zakat bersama 7 ribu rakyat miskin lainnya.

Demi Allah! Zakat itu adalah hak mutlak bagi kaum miskin, dan kewajiban yang ngga bisa ditawar bagi yang kebetulan kaya.

Ironinya, untuk sebuah hak yang wajib mereka dapatkan, para ibu itu justru di-set lebih mirip mengemis massal dan mengubangkan diri dengan memohon-mohon di halaman rumah mewah sang dermawan. Sungguh, ekspresi-ekspresi yang tertangkap kamera sangat membuat hati saya sakit.

Bayangkan, untuk jatah 30 Ribu Rupiah per kepala yang barangkali ludes untuk makan sehari dengan 4 orang anak, mereka rela kehilangan nyawa. Sementara bisa jadi meja makan di hadapan kita bernilai tidak kurang dari Rp. 300.000 untuk sekali makan dan kita masih berani tersenyum sebagai saudara sebangsa.

Sebenarnya apa yang salah dengan otak dan hati Bangsa besar ini? Mekanisme kah? Atau kebodohan? Semua orang lalu berteriak tentang itu.

Sang pembagi zakat pun berkilah, sejak tahun 70an tradisi ini sudah berlaku dan selama itu aman-aman saja.

Saya bilang, itu berarti orang miskin di kampung loe nambah! Dan kalo masih mau bertahan dengan pola pikir juragan kolonial ya hidup aja di hutan. Apa musti semua orang harus tau bahwa loe berzakat, sampe-sampe kewajiban itu harus dibagi di halaman rumah?

Polisi pun ngeles: Tidak ada pemberitahuan apapun kepada pihak kami bahwa akan ada acara pembagian zakat.

Hmm... saya berpikir, mungkin pak Haji sudah tidak mau repot lagi ngeluarin ongkos tambahan di luar zakat yang tidak termasuk dalam pahala, malah bisa-bisa uang itu dibilang syubhat, lagi...

Si pembaca berita menyayangkan: Kenapa sih nggak menggunakan badan Amil zakat resmi saja yang ditunjuk oleh pemerintah? Kan lebih terorganisir dan aman?

Lagi-lagi saya menebak, Pak Haji si Dermawan itu mungkin membatin ”Siapa yang ngurusin? Depag? Departemen terkorup itu? Kali aja dia termasuk rombongan haji yang dulu pernah terlantar karena catering haji dari depag terlambat, udah gitu lauknya ngga layak karena disunat dan basi pula.

Wallahu a’lam bisshawab....

Well, diluar tebak-menebak yang sebenarnya ngga imajinatif juga, karena itu memang nyata, tampaknya bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini musti banyak belajar menggunakan hati agar pandai merasakan, bukan hanya pintar berhitung.

Duit, rizki dan nafkah selalu menjadi tema yang terlalu seksi bagi bangsa ini. Ketika Inul dan Dewi Persik diprotes soal goyang panggungnya, dengan enteng mereka berkilah: ”Lho.. niat saya kan cari nafkah?” atau ”Ini kan jalan rizki saya..” bla..bla..bla... Wah, tar maling, pengedar CD bokep dan koruptor juga boleh dong...

Wajar saja, karena kemiskinan adalah horor yang begitu ditakuti semua orang. Maka itu para orang tua hari ini pun masih merasa perlu untuk memaksa anak-anak mereka untuk menjadi ”kaya” dan ”terkenal” bukan menjadi ”baik” dan ”pintar”. Demikian juga nasehat untuk anak yang berangkat kerja masih berbunyi: ”Baik-baik dan dekatlah sama bosmu biar kerjamu lancar...” bukanya ”Bekerjalah yang baik dan benar biar kamu berguna..”! Ujung-ujungnya profesi dukun dan motivator laris manis saat jalan mulai buntu. Hmm...masih sama seperti jaman dulu. So, kemajuannya di mannaaa...... (ngga perlu tanda tanya lagi).

Wait...wait... bukan berarti saya anti dengan duit ya... tapi paling tidak sampai hari ini saya masih berpendapat bahwa semakin baik dan maju apa yang kita kerjakan, pasti akan mendatangkan rizki yang lebih baik pula, secara otomatis. Memang, syaratnya KKN tidak boleh terlibat di sini. Lha wong udah mati-matian kerja aja masih ada produser yang tega ngga mau bayar kok..! hehe... tapi itu soal person. InsyaAllah saya optimis, bangsa ini ke depan akan semakin cerdas menyikapi hitam dan putih. Amin...

Saran, barangkali untuk pembagian zakat di kampung, door to door saya rasa akan jadi pilihan yang lebih efektif. Beberapa Amil zakat saja cukup, karena memang ada jatah menurut syari’ah untuk Amil zakat. Tapi kelemahan metode itu memang ada, si pemberi zakat tidak lagi heboh dan tenar sampe ke mana-mana. Masih mau zakat kan..?

Pilih dengan hati bukan otak...!

Read more ...
02 September 2008

Kembali Ramadhan....

Seperti tersedot, aku justru menjadi masa kecilku jauh di Makasar, kali ini.
Tersendat, tercekat luluh untuk pertama kalinya setelah sekian tahun hampir terlupakan.
Suara-suara itu melantun secara apa adanya, secara kampungan dari corong masjid yang juga sudah lama tak lagi menggeletar di gendang telingaku.

Suara-suara dalam dan indah itu yang dulu menggandeng tanganku, membimbing hatiku tiap kali Ramadhan menjelang.
Hiruk dalam sepi, sejuk dalam kering diri seorang laki-laki kecil yang tak pernah merasa memiliki maupun dimiliki oleh siapapun.
Laki-laki kecil sombong keras-kepala, yang kelak akan jatuh bangun dalam sujud-sujud pemikirannya sendiri, membangun mimpi-mimpinya hanya berdua dengan Penciptanya, lalu membuktikan sedikit senyum sebelum kembali tertunduk dalam tangis, pada Ilahnya..

dan malam ini, masih seperti malam-malam kemarin, kembali membisikkan sesuatu yang sama di hati ini. "Tak banyak yang mengerti engkau wahai laki-laki kecil, tak banyak yang sanggup memahami mimpi terlampau besar-mu. Tapi tetaplah tegap dan bersyukur menjadi dirimu sendiri, seperti biasanya...

Marhaban Yaa Ramadhan..
suara tarhim itu kembali membasahi rongga ini, meski hari-hari penuh berkah itu tak lagi seindah dulu, ketika aku bisa benar-benar hanya berdua dengan Ilah-ku....
Read more ...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

AddThis

follow