Jika tidak sedang menonton, anda pasti sedang ditonton. Sebab drama adalah anda, saya dan secuil ruang dunia yang sedang kita bagi ini....
09 April 2009

Ngopi bareng Sang Bandar


Malam ini saya kembali mendapat undangan ngopi tapi kali ini tidak seperti biasanya, bicara serius dengan segepok storyboard dan sederet angka, melainkan sebuah undangan launching sebuah café di Pondok Indah Mall.

Bandar Kopi, café yang kebetulan milik seorang teman dan partner saya itu membuat saya banyak diam dan berpikir.

Lhohh..kok..!?

Iya, sebab diantara sekian banyak café yang bermunculan di tanah air, hampir semuanya menggunakan trade-mark ’ala British, American atau ke-Itali-italian gitu deh.

Sebenarnya, diam dan berpikir saya itu bukannya tanpa sebab. Beberapa malam sebelumnya saya ditelfon kawan, seorang seniman gondrong-dekil. More/less dengan mantabnya berbunyi gini:

”Haloo bro, malam ini aku mengundang dirimu minum kopi kapitalis. Ada waktu gak?”

”Hahh? Kopi kapitalis itu opo?”, saya cekikikan tapi ekspresi bingung.

”Halah.. ngopi di café2 bule di mall itu lho, biar kayak para kapitalis, hahaha...”

Saya pun ngakak sejadi-jadinya. Beginilah bagian yang saya suka saat bergaul dengan sahabat2 seniman murni dari Jogja yang selalu siap dengan ide segar yang apa adanya.

Well, cerita di atas memang sederhana, tapi tema ’kopi kapitalis’ itu begitu menggelitik otak-hati ini dan sudah cukup untuk memaksa saya merenung, berimprovisasi lalu membatin, ”iyha..yhaa..!”

Kembali ke Bandar Kopi, ketika saya mengadakan sedikit diskusi nggak resmi dengan teman saya pemilik Bandar Kopi yang sejatinya juga seorang wanita pelukis yang cukup produktif itu, saya seperti mendapat pencerahan. Ternyata apa yang saya pikirkan sejak awal, justru itulah yang menjadi visi dan motivasi dia dalam mendirikan Bandar Kopi ini.

Dia bilang: kopi, kopi kita, tumbuh di tanah kita, oleh petani kita, lalu dibungkus merk dagang asing, dijual lagi ke kita di rumah kita dengan harga selangit. Tapi kita tetep bangga tiap kali nongkrong di sana dengan merasa keren dan stylish gitu.

Hmmm... saya melongo atau entahlah, kurang yakin dengan ekspresi saya saat itu. Tapi saya merasa semua itu benar dan begitulah faktanya. Itu sama aja cerita tentang calon presiden yang berjanji mensejahterakan indonesia, mengangkat harkat bangsa, membela rakyat kecil, eee... ternyata iklan kampanyenya disutradarai bule. Hehe... bukanya jealous lhoh, tapi ini juga ironi dan bisa ada di sini. Belum lagi iklan minuman dengan copy-writing yang terasa meremehkan saya: ”Bule aja doyann....!” Tiap kali iklan itu tayang saya jadi pengen ngomong: ” justru itu gue gak doyan!”

Ah, sudahlah...

Kembali ke Bandar Kopi, sejujurnya, dari tampilan set artisticnya, proses pembuatan, servis dan rasa kopi yang saya minum di sana, tidak ada yang kurang atau kalah dari cafe-cafe ngetop lainnya. Saya pikir tidak ada alasan untuk tidak mendukung at least mendoakan semangat kawan yang layak diacungi dua jempol ini, karena saya tahu, ini tidak mudah bersaing dengan brand-brand yang sudah establish di seluruh dunia itu.

Dengan mantab saya jabat tangan teman saya sang bandar dan saya bilang:
”Congrats mbak.. Semoga bisa mewakili harga diri bangsa ini, paling tidak mulai dari sisi Taste....!”

Amin...

Read more ...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

AddThis

follow