
Agustinus Wibowo (AW), sang petualang sekaligus penulis buku ini memiliki gaya bernarasi yang cukup mengikat emosional saya. Tentu saja itu wajar, karena apa yang disampaikannya dalam buku ini adalah berita dari tangan pertama alias dia sendiri yang mengalami petualangan panjang dengan berbagai situasi jatuh-bangun saat terlibat secara langsung.
Mengikuti perjalanan AW saya tiba-tiba menjadi sosok yang introspektif, kadang menjadi pemikir dadakan bahkan seringkali seperti bersemangant menjadi sukarelawan pembela hak-hak asasi manusia. Tentu saja itu semua hanya sebatas dari tempat duduk atau pembaringan di mana saya melahap buku ini.
Dengan refferensi dan nara sumber cukup memadai baik dari sisi historis, geografis maupun antropologis, AW cukup fasih membaca tradisi dan situasi Negara yang terbentuk dari berbagai suku yang berabad-abad dirundung perang ini.
Bahkan sebagai seorang non-Muslim, AW saya lihat cukup lihai dalam mengkritisi kerancuan antara ajaran agama dan tradisi lokal seperti penggunaan burqa dan perlakuan negatif terhadap wanita atau pemujaan Ali bin Abi Thalib yang berlebihan, bahkan perseteruan tak berujung antara dua madzhab besar yakni Sunni dan Syi'ah. Meski tentu saja msih terasa kehati-hatian yang saya anggap sangat wajar untuk masalah sensitif yang tidak hanya melibatkan Afganistan sebagai main-target penulisannya, namun itu adalah masalah Islam secara global di berbagai negara termasuk Indonesia.
Sebagai seorang Muslim, saya justru merasa harus berterimakasih kepada AW dengan berbagai penelusurannya itu. Mengingat, kebetulan hal-hal itu juga seringkali menjadi ketertarikan saya untuk mencermati, yaitu tentang kemurnian ajaran Islam yang saya rasa terlalu banyak di-"belak-belokkan" atas nama berbagai kepentingan bahkan "kebodohan" dari zaman ke zaman.
Well, lepas dari itu semua, saya juga banyak belajar dari Selimut Debu ini dari berbagai quote yang dihadirkan AW baik yang berasal dari domestic suku-suku Afganistan, apalagi beberapa tokoh idola saya seperti Jalaluddin Rumi, Muhammad Iqbal dan lainnya juga dikutip dengan pas secara content oleh AW.
Sekali lagi. Anda tidak rugi menyempatkan waktu membaca buku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama ini. Tak banyak waktu yang anda sisihkan dibanding cakrawala pemikiran yang terbuka luas setelah itu.
Semoga…. :)
Ulasan bagus untuk buku yang bagus. thanks bro... :)
BalasHapusIya nih... banyak yang bilang buku ini bagus ya...? mari huntiiing... :D
BalasHapusTerima kasih banyak mas Sigit untuk resensi yang sangat indah dan dalam ini. Terima kasih untuk mengapresiasi buku Selimut Debu ini. Afghanistan, memang negeri yang penuh paradoks, bahkan buat saya itu seperti kotak pandora. ke mana pun saya melangkah, selalu ada hal yang baru dan mengejutkan. pengalaman perjalanan di Afghanistan jg banyak mengubah pola pikir dan cara pandang saya.
BalasHapusSekedar informasi, Selimut Debu versi cetak ulang dengan cover baru dan foto-foto yang lebih lengkap akan diluncurkan September 2011 ini. Dan perjalanan di Afghanistan masih dilanjutkan dengan perjalanan di Asia Tengah dalam buku Garis Batas, juga terbitan GPU. sekarang saya sedang menyiapkan sekuel ketiga dan keempat, masih kisah perjalanan di penjuru lain dunia. Terima kasih banyak dan semoga karya-karya ini bisa membawa manfaat.
Suatu kehormatan besar Sang Petualang itu; mas Agustinus Wibowo turut berkomentar di sini. terimakasih mas, saya hanya berbagi kekaguman saya terhadap Anda dan petualangan luarbiasa yang Anda ceritakan itu... thanks for inspiring...
BalasHapusBest Luck.... :)