Jika tidak sedang menonton, anda pasti sedang ditonton. Sebab drama adalah anda, saya dan secuil ruang dunia yang sedang kita bagi ini....
12 Agustus 2007

Jazz, Film dan Anak Jalanan

Malam itu di sebuah cafĂ©, saya punya kesempatan duduk dan ngobrol panjang lebar dengan pianis Jazz terkenal asal Kanada, Ron Davis dan istrinya yang juga jazzer. Baru malam kemaren mereka memukau puluhan penggemar Jazz di Jogja setelah Bali, Jakarta dan kota-kota besar dunia lain dalam rangka tour dunianya. Yah, cukup soal dia... siapa sih yang nggak tau dan mengakui kehebatan dia. Tapi saya juga baru tau malam itu bahwa dia ternyata seorang filmmaniac juga. Meski saya juga gak lupa mempertegas bahwa I’m not a kind of the Indonesian famous director. Saya hanya sutradara kakilima, hehe…

Dari memperbincangkan Jazz yang membuat saya jadi merasa sok tau tentang jazz sampai ke film, entah kenapa Ron begitu antusias dan terus mengejar saya, setelah saya menjawab pertanyaan istrinya bahwa film yang sedang saya kerjakan adalah sebuah documenter tentang anak jalanan, yang rencananya akan kami jadikan sebuah feature film jika ada sponsor. Dia mengintograsi saya seperti detektif, lalu diam melongo seperti anak TK saat saya bercerita atau mengutarakan pendapat.

”Oh my God...! it looks like CITY OF GOD, the Brazillian Film. I llloove that movie. It’s a real, it’s a life…” katanya nyerocos membuat saya yang gentian bengong. Tapi saya suka, meskipun agak kaget. Karena saya juga llloooove sama film yang satu itu. Dari situ kami tenggelam dalam sebuah perbincangan tentang hidup, kehidupan dan apa saja, yang jelas kami menjadi sama-sama lupa diri...

Well, Ada sebuah anggapan umum, bahwa pindah dan tinggal di kota besar adalah satu-satunya cara untuk maju dan berkembang. Hegemoni pendapat itu kemudian menjadikan kota seperti sependar cahaya terang yang menjadikan kaum urban kemudian berbondong-bondong memenuhi sudut-sudut kota. Ternyata tidak semua bisa meraih impiannya di sana. Ada yang terpuruk, banyak yang putus asa.

Yang menggelisahkan adalah anak-anak dibawah umur yang terpaksa berada di jalan dengan berbagai alasan. Jadilah mereka kemudian ramai-ramai kita sebut sebagai anak jalanan. Ya, dalam benak kebanyakan orang terselip sebuah tuduhan yang tidak terucap bahwa mereka seperti komunitas kiri yang meresahkan.

Meresahkan? Tergantung, dari sudut pandang mana kita melihat. Jika kita hanya mengintip dengan sebelah mata atau melirik saja, itu bisa diterima. Tapi sebelah mata saja bukanlah representasi cara pandang yang akurat.

Sesaat kami datang dengan sekeranjang nasi bungkus untuk menu buka puasa, saat itu pula nasi-nasi itu ludes dan mereka makan dengan lahap. Saya menangkap sorot mata anak-anak usia sekolah itu datar, sangat datar sampe-sampe saya nggak bisa memahami apa artinya dan untuk apa sorot pandang seperti itu. Bahkan ke siapa pun sorot mata mereka ya seperti itu, sama.

Agus 12 tahun, berasal dari Bandung. Dia pergi dari rumah dan hidup di jalan karena bapak/ibunya bertengkar melulu. Awalnya ia memang sedih harus di jalan. Tapi di sisi lain, justru membuat hatinya lebih merasa puas dan bahagia. Ia merasa berhasil berunjuk rasa kepada orang tuanya dan ia merasa jiwanya kini lebih bebas mau berbuat apa saja dan kapan saja.

Astri (bukan nama sebenarnya) 15 tahun, saya temui dia di sekitar gerbong rusak di Stasiun Lempuyangan Jogja. Wajahnya kuyu, pucat, kulit legam dan rambut memerah karena matahari. Matanya kosong seperti pasrah. Tidak seperti Agus yang malah mau menyanyikan lagu ciptaannya untuk saya, Astri menolak dan hampir melarikan diri saat tau saya datang dengan membawa kamera. Saya mengalah, saya teriakkan ke dia bahwa saya tidak akan men-shoot dia. Di depannya, kamera kembali saya masukkan ke dalam tas, dan berhasil. Setelah lama saya ngobrol dengan dia, lebih tepatnya saya yang banyak omong karena dia hanya menjawab rata-rata dengan satu kata, ada yang menarik perhatian saya. Perutnya membuncit. Pikiran saya langsung menebak, hamilkah? Dia tidak menjawab, tapi hanya mengangguk sambil tersenyum datar.

Sesaat saya bingung harus tersenyum juga dan mengucapkan selamat atau harus sedih dan prihatin untuk gadis 15 tahun di depan saya itu. Entah seperti apa ekspresi dan reaksi saya saat itu, yang jelas tiba-tiba meluncur sebuah pertanyaan basa-basi yang menurut saya standard.

”O... Sudah berapa bulan? Bapaknya ke mana nih? Lagi kerja ya...”

Tapi ternyata saya baru sadar bahwa itu pertanyaan menjadi sangat serius di sana dan saya gak siap menerima jawabannya. Astri memang gak langsung menjawab. Ia tersenyum lebih lebar dari yang sebelumnya sebelum berkata enteng:

”Bapaknya banyak, gak tau yang mana, ha ha...!”

Dhuenggg....!!! Saya semakin ga bisa mengontrol ekspresi dan emosi saya. Musti gimana saya harus bereaksi. Kalaupun harus berakting, saya gak punya pegangan direction yang jelas (katanya sutradara..?!). Bukankah seharusnya Astri sedih, stress, putus asa seperti umumnya orang kebanyakan? Tapi begitulah lingkungan sudah membentuk mereka.

Memang tidak semuanya memiliki kisah sama seperti Agus atau Astri. Ada yang terlalu dramatik karena kedua orang tuanya sudah meninggal, ada juga yang memang bersama-sama orang tuanya berada di jalan untuk hidup. Yang terakhir memang banyak menuai tuduhan miring dari sebagian masyarakat. Gimana nggak kesel? Udah macet, panas, stres mikir kerjaan, eh, malah ada yang nongol di jendela mobil minta duit...!?

”Seharusnya mereka usaha dong..!” begitu bunyi protes kita biasanya. Well, setelah saya ikut hidup beberapa hari bersama mereka, saya sempat merasakan betapa mereka tidak punya pilihan. Seperti juga mereka harus hidup keras agar tetap bisa bertahan dan tidak menjadi bulan-bulanan anak lain di gank. Suka tau tidak, tanpa mereka sadari mental mereka akan terbentuk dengan pasti. Namanya juga anak-anak.

Memang pemerintah melalui Dinas Sosial telah membuat program-program seperti mendukung Rumah Singgah untuk menampung mereka. Dari perbincangan saya baik dengan Dinas Sosial maupun Rumah Singgah, ada kecenderungan bahwa anak-anak itu merasa bosan tinggal di sana, mereka lebih memilih di jalanan. DinSos bilang, padahal dana yang kami alokasikan untuk ini besar sekali. Rumah Singgah dan LSM bilang, dana dari pemerintah seret, jadi kami harus pontang-panting cari tambahan sendiri. Ah, tau ah.. lupakan saja, itu selalu terjadi di sini, dan akan selalu...

Saya merasa anak-anak itu mau gak mau akan terbentuk menjadi sosok-sosok yang keras, egois dan spontan. Saya khawatir ini seperti bom waktu yang pada saatnya nanti akan meledak dan berubah menjadi kriminal dalam skala besar di seluruh Indonesia. Kemungkinan itu pasti ada. Sialnya, merekalah yang akan berdampingan dengan anak-cucu kita kelak dalam menjalankan roda Negeri yang masyarakatnya terkenal sopan, arif dan bijaksana ini.

So, masih berani cuek..?!

Dan malam itu, Ron menyodorkan dua lembar kartu nama. Satu miliknya, yang satu lagi milik sahabatnya seorang kurator film di Toronto Film Festival.

”He is my best friend,” katanya. “Please, we’ll be wait your film in Toronto Film Festival. We always be there for such kind of great movie. You have to finish it.. you have to do it..!”

Lagi-lagi saya bengong. Paling tidak saya musti shoot dengan 16 mm untuk bisa ke sana. Lha dananya dari mannna..?! Tapi fine, saya belum menyerah. Siapapun yang membaca artikel ini, saya mohon ketulusan doanya ya......

Title: Jazz, Film dan Anak Jalanan; Written by Sigit Ariansyah; Rating: 5 dari 5

3 komentar:

  1. well, menarik juga artikel tentang Jazz, Film dan Anak Jalanan. Sepintas saya membaca judul itu kurang begitu nyambung. how come? what is the relation between Jazz and Anak Jalanan, and Film in the middle. but, after i read it, interesting. Pertama, bahwa suatu dunia yang sangat jauh sekali antara Jazz yang identik dengan "wah" nya dengan anak jalanan. saya mau kasih komentar nih, ternyata inti dari tulisan itu adalah Anak jalanan nya toh. mengenai anak jalanan sudah bukan rahasia umum lagi tentang keadaan dan nasib mereka. siapa yang mau mengurus mereka ? dalam UUD 45 pasal 34, masih ingat kan, ini pelajaran SD loh, hehehe, bahwa anak2 jalanan dan orang tuna wisma di urus oleh negara. NAh, di sini yang jadi pertanyaan nya adalah... Mengurus yang BAgaimana ????
    well, saya kira di sini pemerintah tidak begitu serius menangani permasalahan ini, eh tunggu, serius deng, lha wong sampe di di tulis di UUD 45 kan, tapiiiiii.... masih ingat kan pepatah rusak nila sebelengga... heemmm, oknum-oknum itu yangharus di pertanyakan. DI KEMANAKAN DANA BUAT ANAK-ANAK JALAN ! saya suka sekali iklan di televisi yang menggambarkan kehidupan anak jalanan yang tidak bisa sekolah malah bermain di taman bermain mereka, yaitu.. GUNUNGAN SAMPAH KOTA!! how enjoy their life..
    OK, melalui film kita dapat mengkritisi dan sedikit membela mereka. melalui film yang benar-benar berkata kejujuran hidup ( bukan seperti sinetron yah, yang hanya membodohi kita aja dengan jualan mimpi), setidak nya kita harus lebih kritis lagi dalam menyikapi persoalan yang (masih) ada dalam bangsa kita. Bayangkan udah hampir 62 tahun loh bangsa kita gak mampu menyelesaikan masalah ini. (Red : dari tahun 1945 di tulis ke UUD 45 segala, sampe sekarang 14 Agustus 2007). Nah untuk not a kind famous director ( heii.. u said like that uh ) I REALLY SUPPORT YOU..
    mau jadi apa kita kalo gak membela bangsa sendiri. maaf bukan sok nasionalis atau dalam rangka memperingati HUT RI 62, tapi yah memang begitu lah. WE SHOULD PROUD OF OUR NATIONAL WITH ALL COMPLICATED PROBLEMS =(

    BalasHapus
  2. Jazz, Film dan Anak Jalanan. Mmm.. menarik..! Setidaknya aku tau, dalam memahami hidup, kelas/status sosial ternyata berbicara sama. Hanya kita-kita saja yang terlalu banyak bicara, membagi-bagi kelas atau status sosial. Seperti jazz, pop, dangdut, whatever...

    BalasHapus

  3. Great blog and you are always provided with access to provide useful information like this to us.

    supersmashflash2s.com

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

AddThis

follow