Jika tidak sedang menonton, anda pasti sedang ditonton. Sebab drama adalah anda, saya dan secuil ruang dunia yang sedang kita bagi ini....
18 September 2011

The Red Violin

Menurut saya ini film spektakuler yang dengan sangat berani berlompatan melintasi sejarah panjang dalam menggambarkan beberapa perbedaan jaman, tradisi, budaya dan geografis sekaligus. Karena itu film ini melibatkan tidak kurang dari 5 negara diantaranya Italy, Inggris, Canada, Austria dan China.

Menggambarkan sejak setting present-day di Montreal Canada, alur cerita berjalan flashback mengikuti sebuah biola merah yang dikenal dengan "The Red Violin", sebuah masterpiece karya Nicolo Bussotti sang Master pembuat biola yang melegenda di Italy pada abad ke 17, lalu merambah abad ke 18 di Austria, juga Oxford hingga sang biola berada di China pada abad ke 19 pada masa Revolusi Kebudayaan China yang terkenal itu.

Saya benar-benar dibuat kagum bagaimana sutradara Francois Gerard dengan sabar dan brilliant memainkan setting berlompatan yang saya anggap cukup berhasil itu. Sejak ia menggambarkan situasi Itali di tahun 1681 di mana Nocolo Bussotti sedang menantikan kelahiran sang putera, dengan penuh harapan ia membuat biola "Masterpiece" itu yang akan dihadiahkan untuk puteranya setelah kelahiran dari istri tercintanya (Anna) kelak. Tapi takdir berkata lain. Sang istri yang amat dicintainya sepenuh hati itu tewas beserta putra yang telah dinantinya siang-malam dalam kandungan.

Lewat tangan seorang peramal kartu tarot (Cesca) yang meramal Anna pada masa kehamilan, Girard membawa filmnya berlompatan melampaui waktu, budaya dan lokasi berbeda-beda. Meskipun kemudian muncul kritikan anakronisme cukup mengganggu yang mengungkapkan bahwa faktanya, kartu tarot baru digunakan untuk meramal paa akhir abad ke 18. Sebelumnya kartu tarot hanya dipakai untuk bermain. Wallahu a'lam bisshawab… :)

Begitulah, selanjutnya Sang Biola Merah itu berada di tangan seorang anak yatim-piatu berbakat bernama Kaspar Weiss di pusat biara Austria, lalu karena bakat luarbiasanya Kaspar dititipkan untuk dibina oleh Georges Poussin namun lagi-lagi disayangkan, Kaspar yang memiliki penyakit lemah jantung meninggal pada sebuah audisi pemain cilik. Maka Biola itu dikuburlah bersama jasad Kaspar.

Namun kuburan Kaspar ternyata dibongkar, dan biola berpindah ke para kaum gypsi dari tangan satu ke tangan lain hingga sampai ke tangan seorang bangsawan Inggris Frederick Pope. Seperti para pemegang sebelumnya, Ia begitu terobsesi bahkan terhipnotis pada biola tersebut yang menginspirasinya menulis berbagai inspirasi cintanya kepada wanita pujaannya yang kelak wanita itu menembak biola tersebut karena cemburu, hingga Pope tewas karena menembak dirinya sendiri.

Biola Merah itu lalu berpindah ke China lewat tangan pelayan Pope dan dijual ke sebuah toko barang bekas. Singkat cerita, biola itu dimiliki seorang kader partai komunis China pada masa Revolusi Kebudayaan, di mana saat itu budaya Barat dilarang di sana. Lagi, biola itu membawa korban seorang guru musik biola yang melindungi biola tersebut di sebuah loteng rumahnya.

Perjalanan  The Red Violin berakhir di pusat pelelangan Daval, Montreal di mana si ahli biola (Carles Morrits) melakukan berbagai ujicoba lab tentang keaslian biola tersebut. Sebuah pertarungan dengan kepentingan pribadi untuk memiliki biola tersebut untuk diahiahkan kepada buha hatinya sempat seru terjadi pada diri Morrits, namu di beberapa saat sebelum dilelang, ia membatalkan niat itu dan mengganti sendiri biola tiruan dengan yang asli. 

Di sana juga film sempat kembali flashback untuk menceritakan bahwa warna merah pada biola ti adalah hasil pencampuran formula semacam pernis dan darah yang diambil sendiri oleh Bussotti dari urat nadi istri tercintanya Anna, dalam kondisi keputus-asaan yang dalam. Ada kutipan dialog menarik dare Morrits di sana: "What do you do when the thing you most wanted, so perfect, just comes?"

Kereen…! batin saya sambil membaca credit title film berdurasi sekitar 135 menit ini kagum. Pertama di release tahun 1998 di Troronto International Film Festival. Ya, tidak ragu saya sarankan, film yang ditulis oleh Don McKellar & Francois Girard yang konon diperkirakan ber-budget sekitar $10.000.000 ini memang layak anda tonton...!
Read more ...
08 September 2011

Membaca Selimut Debu

Lagi, kali ini saya ingin rekomendasikan anda untuk membaca buku keren ini. Ya, buku setebal 461 halaman ini dalam sekejap menerbangkan imaji saya menelusuri padang rumput luas, pegunungan terjal bersalju dan tentu saja hamparan tanah kering berdebu Afganistan.

Agustinus  Wibowo (AW), sang petualang sekaligus penulis buku ini memiliki gaya bernarasi yang cukup mengikat emosional saya. Tentu saja itu wajar, karena apa yang disampaikannya dalam buku ini adalah berita dari tangan pertama alias dia sendiri yang mengalami petualangan panjang dengan berbagai situasi jatuh-bangun saat terlibat secara langsung.

Mengikuti perjalanan AW saya tiba-tiba menjadi sosok yang introspektif, kadang menjadi pemikir dadakan bahkan seringkali seperti bersemangant menjadi sukarelawan pembela hak-hak asasi manusia. Tentu saja itu semua hanya sebatas dari tempat duduk atau pembaringan di mana saya melahap buku ini.

Dengan refferensi dan nara sumber cukup memadai baik dari sisi historis, geografis maupun antropologis, AW cukup fasih membaca tradisi dan situasi Negara yang terbentuk dari berbagai suku yang berabad-abad dirundung perang ini. 

Bahkan sebagai seorang non-Muslim, AW saya lihat cukup lihai dalam mengkritisi kerancuan antara ajaran agama dan tradisi lokal seperti penggunaan burqa dan perlakuan negatif terhadap wanita atau pemujaan Ali bin Abi Thalib yang berlebihan, bahkan perseteruan tak berujung antara dua madzhab besar yakni Sunni dan Syi'ah. Meski tentu saja msih terasa kehati-hatian yang saya anggap sangat wajar untuk masalah sensitif yang tidak hanya melibatkan Afganistan sebagai main-target penulisannya, namun itu adalah masalah Islam secara global di berbagai negara termasuk Indonesia.

Sebagai seorang Muslim, saya justru merasa harus berterimakasih kepada AW dengan berbagai penelusurannya itu. Mengingat, kebetulan hal-hal itu juga seringkali menjadi ketertarikan saya untuk mencermati, yaitu tentang kemurnian ajaran Islam yang saya rasa terlalu banyak di-"belak-belokkan" atas nama berbagai kepentingan bahkan "kebodohan" dari zaman ke zaman.

Well, lepas dari itu semua, saya juga banyak belajar dari Selimut Debu ini dari berbagai quote yang dihadirkan AW baik yang berasal dari domestic suku-suku Afganistan, apalagi beberapa tokoh idola saya seperti Jalaluddin Rumi, Muhammad Iqbal dan lainnya juga dikutip dengan pas secara content oleh AW.

Sekali lagi. Anda tidak rugi menyempatkan waktu membaca buku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama ini. Tak banyak waktu yang anda sisihkan dibanding cakrawala pemikiran yang terbuka luas setelah itu.

Semoga…. :)
Read more ...
04 September 2011

Persepolis


Inilah salah satu film animasi dua dimensi yang luarbiasa, menurut saya. Saya sangat rekomendasikan anda menontonnya, meski anda tetap harus smart dan bijak dalam memahami apa yang disampaikan film ini, sebelum anda menilai dengan fair.

Sarat kritikan menohok, film ini sebenarnya diadaptasi dari komik otobiografi karya seorang wanita Iran, Marjane Satrapi yang menggambarkan kisah nyata masa kecilnya hingga beranjak dewasa di Iran pasca Revolusi Islam.

Sungguh terasa bagaimana ia dengan sangat menggebu menggoreskan sketsa apik tentang suasana batinnya yang mewakili keterpurukan perempuan Iran saat itu di tengah keluarga kecilnya yang berpikiran moderat, namun tak mampu berbuat banyak terjepit diantara situasi politik, tradisi dan spiritualitas yang dipaksakan.

Meski pergolakan ego remajanya di Eropa sempat membuatnya terpuruk oleh libido, tuduhan dan pengkhianatan hingga mengantarnya kembali ke Iran, namun ia tidak bisa membohongi dirinya untuk tidak memberontak terhadap paksaan spiritualitas yang baginya tidak fair bagi kaumnya.

Film berbahasa Perancis yang disutradarai oleh Vincent Paronnaud dan Marjane Strapi sendiri sebagai Co-Director, divisualkan dengan tone Black & White seperti komik aslinya, meskipun ada sedikit present-scene yang dibuat colorful.  Dituangkan dengan sederhana namun sangat memukau. Sesekali saya merasa dibawa ke dunia surrealis di bawah bayang-bayang voice-over Marjane yang bernarasi cukup menohok dalam menuturkan kisahnya kata per kata.

Komiknya sendiri memang cukup mendapat sambutan hangat sejak peluncurannya dalam bahasa Perancis dan sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa dengan sambutan tak kalah populer.

Judul "Persepolis" sendiri konon berarti sebuah kota kuno dari Kekaisaran Persia bernama Parsa yang terletak 70 Km Timur laut Shiraz, Iran. "Persepolis" sendiri berasal dari terjemahan bahasa Yunani dari nama kota ini: Persēs polis: "Kota Persia". Dalam bahasa Persia, tempat ini dikenal sebagai Takht-e Jamshid (Tahta Jamshid) dan Parseh. Sisa terawal Persepolis berasal sekitar tahun 515 SM.

Begitulah, dalam otobiografi pergolakan wanita Iran ini, batin saya diaduk-aduk antara "iya" dan "tidak". Maksudnya, dalam visi pendek, saya banyak meng-iya-kan dan bersimpati terhadap apa yang dialami dan dirasakan Satrapi. Namun kadang saya juga sering terganjal jika melihat akibat yang juga digambarkan sendiri olehnya dalam keterpurukannya di dunia "bebas" Eropa impian Satrapi sendiri, yang terbukti tidak terlalu ramah untuk "kemanusiaan"-nya. Akhirnya tanpa terasa saya seperti tiba-tiba  dilibatkan dalam kegamangan antara dua tukub yang berbeda.

Bagaimanapun, ini salah satu karya yang saya acungi jempol tanpa ragu. Betapapun anda tidak suka komik atau film kartun, saya yakin anda akan tertarik dengan content menggelitik yang diusung film ini. Kecuali anda tipe yang sama sekali tidak suka membaca atau tidak peduli apa-apa. 

Semoga bermanfaat... :)

Read more ...
01 September 2011

Dari Hilal Sampai Toleransi



"Jujur, lama-lama agak jengah juga dengan perbedaan penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawwal ini," seorang teman berkomentar berapi-api. "Sudah bertahun-tahun kok masih saja gagal menyamakan persepsi," lanjutnya kali ini ada ekspresi  sinis sekaligus pasrah. 

Begitulah 1 Syawal tahun ini, 1432 Hijriyah bertepatan dengan 2011 Masehi masih juga tumpang-tindih alias nggak seragam. Saya memaklumi begitu hebohnya itu karena menyangkut lebaran setelah 1 bulan penuh berpuasa. Alasan lebih serius lagi karena 1 Syawal adalah hari di mana puasa diharamkan.

Biang keroknya adalah metode? Ya, memang ada yang menggunakan Ru'yatul hilal, ada yang lebih suka dengan metode Hisab bahkan ada yang sekedar mengamati grafitasi bulan yang terlihat dari pasangnya air laut.

Definisi "Hilal" dalam ilmu falak merupakan pemunculan bulan paling awal (berbentuk sabit) di ufuk barat yang tampak menghadap bumi setelah mengalami konjungsi atau ijtimak. Konjungsi adalah peristiwa di mana matahari dan bulan berada segaris di bidang ekliptika yang sama. 

Nah, singkatnya, Penampakan "hilal" itulah yang menandai pergantian bulan yang berarti masuknya awal bulan baru dalam system kalender qamariyah.

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: “Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji…” [Al Baqoroh(2):189]

Sedangkan "hisab" secara harfiyah berarti 'perhitungan', adalah metode perhitungan matematik astronomi untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi penentuan matahari menjadi penting karena umat Islam untuk ibadah shalatnya menggunakan posisi matahari sebagai patokan waktu shalat.

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” [Yunus(10):5]

“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.” [ArRahmaan(55):5]

So, metode mana yang paling benar? 

Ya jalas, menurut saya semuanya benar dong..! Islam adalah agama yang sangat mengakomodir proses ilmiah dan alamiah dalam berbagai hal. Penentuan bulan hanyalah salah satu contoh kasus saja,

Kalo gitu kenapa berbeda? Bukankah setiap proses dalam metodologi ilmiah yang detil dan rumit  akan selalu menyisakan perbedaan-perbedaan kecil? Nahh.. menurut saya, untuk itulah Islam masih menyediakan "post" setelahnya yaitu apa yang dikenal dengan "Ijma'" atau kesepakatan ulama dan "Ulil Amri" atau pemerintah. Dua-duanya bersifat domestic untuk masing-masing wilayah. Dan jelas Islam juga mewajibkan kita mematuhi pemerintah (Wa athii'uu Ulil Amri minkum……).
Untuk penentuan akhir setelah kedua "post" di atas, Islam masih menyediakan satu lagi "final post" yaitu "keyakinan". Ya, beragama adalah soal keyakinan, soal iman.
Nahh… Masalahnya di Indonesia ini antara pemerintah dan ulama' yang jumlahnya buaanyak itu nggak akur juga. Tambah runyam  lagi, masing-masing ormas punya ulama'nya sendiri-sendiri yang memang cukup kokoh.

Jadilah lagu lama yang meski sudah kusut diputar lagi setiap tahun. Situasi yang sangat tidak sedap dirasakan. Mereka yang seharusnya berbeda secara ilmiah menjadi seperti adu legitimasi di mata ummat masing-masing. Dari persoalan ilmiah menjadi masalah kredibilitas, wibawa, image dan sejenisnya. Sungguh, sama sekali tidak dewasa dan ini serius.

Yang lebih lucu lagi, 1 Syawalnya ribut-ribut berbeda, eee.. tau-tau kelak tanggal 17 atau 20 Syawalnya sama. Bisa juga 10 Dzulhijjah (Idul Adha) dan 9 Dzulhijjah (Wukuf Haji di Arafah) sama semua, ga ada yang ribut..??!

"Perbedaan adalah Rahmat". Yes absolutely! Tapi mari mencoba berbeda dengan elegan.dan cerdas. Bertoleransi dengan menghormati yang tak sependapat dengan kita, itu harus. Belajarlah untuk tidak menggerutu sinis terhadap kelompok lain yang berbeda, tapi di saat yang sama mulut Anda dengan manis bicara toleransi dan saling menghormati…???

Akhirnya, perbedaan itu memang akan selalu ada. Tapi saya (pribadi) masih berpendapat bahwa tidak mustahil perbedaan itu kita satukan untuk menghasilkan kesepakatan dengan syarat; Ulama' dan Umara' (pemerintah) yang bersih, yang BISA DIPERCAYA..! (Bold-italic-underlined).
Read more ...
14 Mei 2011

Eat Pray Love

Review ini sebenarnya sudah lama saya post secara parsial di twitter, tepatnya sehari setelah saya nonton film ini di bioskop. Cuma sekarang baru sempat meng-compile kembali di blog ini. Maklum, sibuk. (Baiklah.. itu versi lain dari maless.. :D)

Kegetolan saya nonton film ini memang tidak lepas dari hebohnya Indonesia membicarakan film yang dibintangi Julia Robert ini karena lokasi shootingnya yang melibatkan Bali. Ya, memang Indonesia begitu heboh. Tak kurang dari Menteri Budpar, jauh hari tak henti-hentinya mengkampanyekan film ini di berbagai stasiun TV. Sebuah perlakuan yang sangat istimewa, sampai-sampai saya sempet ngiri, andai pemerintah memperlakukan film Indonesia seperti ini…

Baiklah… Secara konsep, saya berpendapat, ini film bagus dengan materi bahasan yang mendalam dengan tiga set lokasi berbeda; Italy yang merepresentasikan makanan, India dengan spiritualitasnya dan Bali yang digambarkan sebagai muara tempat berlabuhnya jawaban atas perjalanan cinta maupun spiritualitas itu.

Ya, Eat Pray Love memang bukan cerita baru bagi tradisi film-film Amerika. ia hanyalah pencarian solusi yg amburadul bagi personal problem tipisnya spiritualitas khas org Amrik. Nah, atas problematika tersebut, saya merasa film ini kurang tegas dalam memposisikan masing-masing karakternya. Di mana-mana saya menemukan kegamangan jawaban-jawaban spiritual yg sejujurnya menurut saya kurang sepenuhnya menjawab.

Karakter Ketut sebagai tokoh spiritual yang bijak di Bali sebenarnya cukup kuat. Dialah muara jawaban dari seluruh perjalanan problem spiritual JR menemukan titik terangnya. Namun itu sedikit terkikis justru menjadi anti klimaks dengan hadirnya karakter pacar JR asal Brazil yang sudah lama tinggal di Bali.

Pacar Brazil di Bali..! Hmmm… dari gatel, kini bokong saya mulai memanas di sini. Kenapa? Pertama, hanya gara-gara orang Brazil di Bali, frame yang berisi landscape sawah dan penduduk asli Bali, eee.. backsoundnya kok dikasih musik latino. Plis deh dong…! Yang kedua, apa nggak lebih oke jika Julia Robert jatuh cinta sama orang lokal Bali aja biar set cerita di Bali ini gak kerasa terlalu maksa. Jauh-jauh dari Amrik ke Bali, ketemunya orang Brazil which is Amrik juga. hadeeh…

Yang juga saya sayangkan, Director sepertinya kekurangan energy untuk mengeksplore segitu banyaknya landmark Bali yang cukup iconic di mata dunia. Yang ada justru beberapa sudut kecil yang ambigu, seperti pasar buah tradisional yang sebenarnya ada di seluruh Indonesia.

Sialnya, itu semua diperburuk dengan hadirnya tokoh yang diperankan Christine Hakim sebagai seorang single parent yang jago dalam hal pengobatan tradisional. Meski acting mbak Christine cukup bagus, tapi di sini Bali jadi semakin absurd, Bali kok justru lebih mirip atmosfir Tiongkok tradisional. Sialnya lagi, (kok kebanyakan sial ya??… bodo ah..) Christine Hakim punya anak cewe cantik dan lucu, yang bahasa inggrisnya itu loh.. jago buanget untuk ukuran anak Bali seusia itu. Automatically langsung mengingatkan saya pada anak-anak International School di Jakarta.

Kecuali catatan diatas, untuk eksplorasi antropologis sisanya di masing-masing set (Italy, India, Bali) saya anggap cukuplah. Nah, truss yang ini gak kaget. Ini sangat typical Hollywood, yup! seperti biasa, 'Kissing before Ending…!'  "Hmmm… but can you guys, find another way pliiiiiis….?"

Biasanya, saya termasuk yang bisa menikmati flow lambat dari sebuah film. Tapi dengan berat hati saya harus jujur, bahwa di film ini bokong saya sudah gatel sejak seperempat jam awal. Gimana nggak, director mengeksplore tiap-tiap set maupun adegan secara berulang-ulang untuk sebuah ungkapan dengan tujuan yang sama dan itupun begitu monoton. Gampangnya, andai saya boleh ngomong saat itu, saya akan teriak  "iya..iya.. ane udah paham kalee…"

Kesimpulannya, untuk nonton Eat, Pray, Love ini saya sarankan, you better Eat before watching, Pray to be ended soon, then you can go home to make Love…. hehe.. piss....
Read more ...
20 Maret 2011

Membaca Sabda Palon


Membaca Sabda Palon, saya cukup terbawa suasana masa lalu tanah moyang kita yang konon memang  terkenal penuh dengan gegap-gempita ambisi, persaingan dan intrik. Kata ‘terbawa’ saya gunakan untuk merepesentasikan emosi selama membaca. Ada ketertarikan, juga bangga, kadang miris, terharu dan seringkali penasaran, tidak percaya.

Sebagai manusia yang lahir di sekitar Trowulan, saya jadi sering berharap siapa tahu moyang saya adalah salah satu ksatria gagah perkasa itu, syukur-syukur sang Raja atau Rani, kalaupun tidak yaah keturunan Jaka Tarub dan Nawangwulan boleh lah.. (silahkan menghina saya sambil ketawa guling-guling…).

Sejarah memang sudah mencatat, Nusantara di sekitar abad ke-14 adalah masa transformasi yang begitu heboh. Tidak hanya transformasi kekuasaan dan politik (geografis), tapi juga menyangkut transformasi spiritual dan ideologi. Bahkan Thailand sudah lebih dulu membuat film kolosalnya yang melibatkan kata ‘Jawa’, salah satunya Queen Of Langkasukha (Ini juga bisa jadi bahasa lain bahwa saya selalu pengen memfilmkan Majapahit dengan sebenarnya dan belum kunjung berhasil…). 

Novel Sabda Palon ini tampaknya bertumpu di sekitar itu, bermedium penyebaran awal agama Islam serta kedatangan para saudagar dan ksatria China untuk lebih leluasa mengatakan betapa Nusantara ini terbangun dari heterogenitas atau multi-culture. Lalu hadirnya tokoh Sabda Palon dan Naya Genggong  dengan agama Budi-nya menjadi begitu pas seperti yang diinginkan penulis untuk mengkritisi fanatisme ideologi yang menggerogoti bangsa ini sejak kejatuhan Majapahit hingga saat ini. 

Siapapun Damar Shasanka, dia story-teller yang cukup berbakat. Cerita panjang dengan plot yang sangat random bahkan seperti hampir tidak ada main-plot  yang menjembatani keseluruhan cerita kecuali satu benang merah; Majapahit,  dia berhasil menahan saya untuk tidak buru-buru mengalihkan perhatian saya ke Manohara dengan Sinetron Supergirl-nya itu atau Sinetron lucu lain bertitel Anak Yang Tertukar atau apalah... Damar Shasanka juga berhasil menyamarkan antara catatan sejarah, imajinasi dan mungkin hasil olah batin penelusurannya dengan narasi-narasi licin yang cukup cerdas.

Akhirnya saya menamatkan buku luar biasa ini dengan beragam kecamuk di kepala ini. Selain belum dapat kepastian siapa moyang saya, saya juga masih bodoh dengan hal-hal di luar catatan sejarah dan imajinasi. Saya termasuk yang anti fanatisme berlebih apalagi sampai membunuh ideologi lain yang berseberangan dengan saya. Tapi saya juga belum berani menyimpulkan bahwa kejatuhan Majapahit dan keterpurukan bangsa ini hingga sekarang adalah karena ideologi tertentu. Sebab jika terpuruk itu maksudnya setelah dibandingkan dengan Amerika atau Jepang, saya punya ukuran sendiri. Satu hal, saya selalu bangga dengan manusia yang bangga dengan tanah dan moyangnya sendiri  dengan karya seperti ini. Semoga karya-karya seperti ini terus berlanjut…

Lohh..! jadi moyang saya itu siapa ya…???
Read more ...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

AddThis

follow