Beberapa hari lalu, ditengah-tengah shooting iklan sebuah produk makanan yang cukup melelahkan, Handphone saya nggak henti-hentinya berdering. Bahkan sampai di studio Post-Pro, saya masih harus menjawab beberapa telpon dan SMS dari teman-teman lama. Rata-rata soal Tujuhbelasan. Sampai-sampai 50% inbox saya bertema Kemerdekaan. Ya, seputar kegiatan dan kepanitian acara.
Agustus tahun ini, saya beberapa kali didatangi atau sekedar ditelpon teman-teman lama yang kebetulan terlibat atau dimintai tolong oleh panitia kegiatan Tujuhbelasan, entah itu di kampung, cafe, mall-mall atau instansi besar. Kemudian teman dan sahabat-sahabat saya itu dengan penuh semangat ’45 mengalihkan bantuan itu ke saya. Memang, rata-rata bantuan yang mereka minta nggak begitu berat apalagi sampai merepotkan. Ada yang minta saya mengusahakan LCD Projector atau screen gratis, ada yang meminta film-film saya untuk diputar, jadi pembicara, nyebar undangan SMS berantai dan seterusnya. Yang paling banyak, mereka minta bantuan saya untuk mencarikan film-film lama bertema perjuangan Indonesia seperti Janur Kuning, Soerabaia 1945 dan yang sejenis itu.
Asyik aja... Saya sangat senang bisa membantu mereka. Apalagi ini memang dunia di mana hari-hari saya berada selama ini. Hanya tiba-tiba kepikiran aja soal pemutaran film yang akhir-akhir ini semakin marak di event apapun dengan film-film yang sesuai tema tertentu. Bulan Agustus seperti ini, jelas film-film perjuangan is The Most Wanted, satu level di atas film-film bertema nasionalisme lain yang nggak secara langsung menyuguhkan perjuangan dalam arti fisik.
Ini menggembirakan! Setelah sekian lama Indonesia seperti bangsa yang nggak punya karya film, artinya seakan-akan nggak ada manusia Indonesia yang menyajikan Indonesia-nya melalui film kepada dunia, kini saya kembali bisa merasakan masa kecil yang setiap minggu bisa lihat mobil KB dan produk Jamu memutar film-film Dalam Negeri dengan layar tancep di kampung-kampung. Pernah juga yang lebih elit, ke bioskop rame-rame sama temen sekelas dan pak Guru karena harus menyaksikan pembantaian sadis berdarah-darah ala G-30-S PKI itu di usia kami yang belum genap 13 tahun. Mmm... cukup membanggakan....!?
Meski berbau propaganda dan promosi, tetap saja, saya merasa harus bersyukur menjadi penduduk yang negaranya bisa bikin pilem, hehe... Tinggal si pilem-maker nya aja yang musti lebih bertanggung jawab dengan apa yang sedang mereka sajikan kepada masyarakat dunia, bla..bla..bla....
Saya punya pemikiran bahwa masyarakat kita adalah masyarakat ”penonton” dan bukan masyarakat ”pembaca” yang baik seperti orang-orang eropa. Itu kenapa, wayang kulit, ketoprak, ludruk dan sebagainya menjadi primadona di jamannya. Bahkan saya sempat iri dan sedikit bingung dengan loyalitas penonton wayang kulit. Gimana nggak heran, cerita wayang selalu sama di manapun. Begitu juga dengan tokoh-tokoh berikut karakter yang diperankan, bahkan backsound dan soundtrack yang mengiringi mood ceritanya sepanjang malam pun sama. Satu-satunya yang membedakan pementasan wayang kulit hanyalah Ki Dalang. Begitu kharismatiknya aura beliau, hingga nama besarnya sanggup mendatangkan puluhan penonton, yang nota benenya juga sama . Mereka-mereka itu jugalah yang menonton pertunjukan di malam-malam sebelumnya, di tempat berbeda.
So, saya nggak melihat alasan, kenapa pernah ada ketakutan bahwa film Indonesia akan ditinggalkan penontonnya. Kalaupun memang terbukti pernah, saya terpaksa harus cari-cari alasan, kenapa penonton sampai tega (atau terpaksa?) meninggalkan Film Indonesia begitu saja...
Well, ngomong-ngomong soal film perjuangan, ketika seorang teman meminta saya untuk mencarikan film-film perjuangan, secara spontan saya menjawab; ”Lho... Semua filmku itu film perjuangan...!”. Maksudnya, saya bisa bikin film-film itu yang penuh perjuangan, hehe... Yang pasti sering nombok, ke sana-ke mari ditolak sponsor mulu, lembur tak berujung, ditagih catering, belum lagi terpaksa ngedit ulang karena hardisknya kena virus (Dengan ini saya doakan, pembuat virus yang telah berhasil menghancurkan film terbaru saya ”DECEMBER’26”, segera bertobat dan diampuni dosa-dosanya. Amiiin...).
Toh, Perjuangan belum berakhir. Film kita belum sepenuhnya merdeka. Film kita masih dipandang hanya sebagai hiburan semata. Meski menghibur, film seharusnya bisa memberi sesuatu kepada penontonnya. Meski butuh hiburan, penonton seharusnya mencari sesuatu dari sebuah film.
Karena bagi saya, film kadang menjadi wakil dari buku yang nggak sempat saya baca, nasehat orang tua yang terlewatkan dari telinga saya, pengalaman getir saudara saya di belahan lain planet ini yang nggak mungkin saya alami sendiri, bahkan kadang mewakili Kyai di pengajian-pengajian yang nggak kebagian waktu sok sibuk saya...!
Jogja, Tujuhbelasan 2007