
Tapi Ngomong-ngomong, menggemaskan iya juga sih... Bagaimana tidak? Perempuan hanya menjadi bagian dari daftar menu kaum laki-laki setelah pekerjaan, uang, rumah dan kendaraan. Maka laki-laki terkaya adalah pemenang sayembara karena dia yang paling mampu membeli perempuan tercantik. So, bagi perempuan, ”cantik” yang nota benenya adalah kebetulan terlahir demikian akan berubah menjadi pengorbanan besar bagi harga dirinya ketika Si cantik memiliki cinta lain yang lebih tulus.
Sialnya, kaum perempuan pun malah terkondisi atau lebih tepatnya terdidik menjadi sebuah bentuk komoditi barang dagangan yang bisa menopang kebahagiaan seluruh keluarga secara finansial, karena pasti akan datang seorang pembeli, lelaki kaya yang siap menikmatinya. Dan kenyataanya banyak perempuan-perempuan cantik itu yang memang merasa senang. Apakah itu hanya terjadi di jaman Siti Nurbaya saja? Sayangnya tidak. Jaman sekarang pun kenyataannya lebih parah. Tapi sudahlah, ini soal mental.
Menurut keyakinan saya, perempuan selayaknya dipandang sebagai makhluk bernyawa dan berotak sama seperti laki-laki, hanya saja perempuan beranak, karena jelas Tuhan lebih mempercayai mereka untuk hal yang satu itu daripada laki-laki. Perempuan di manapun saat ini pada pandai mencari uang sendiri. So, saya tidak menemukan alasan bahwa laki-laki harus sombong karena merasa lebih kuat. Secara fisik, mungkin. Tapi bukankah untuk bertahan hidup kita tidak bisa mengabaikan otak, hati dan mental.
Masalahnya, jaman ini justru para perempuan menuntut persamaan hak dengan laki-laki dalam demo-demo maupun dengan cara lebih intelek dengan tulisan di berbagai media. Saya dan banyak laki-laki yang sependapat dengan saya, yang sejak dulu memang menganggap sama, karena sejak kecil saya terbiasa bikin repot Ibu dan kakak-kakak saya yang semuanya perempuan, jadi berubah pikiran. Lho, ternyata perempuan selama ini lemah tho...?! Itu yang saya pikirkan saat pertama kali memahami maksud demo para perempuan dengan sepanduk-spanduk dulu.
Nahh..! tertariklah saya untuk membuat film tentang pemikiran itu. ’AHA’ hanya sedikit menyentil kaum laki-laki yang terbiasa menganggap remeh pekerjaan rumah tangga, mentang-mentang dia sudah bekerja di kantoran (meski di sana cuma baca koran atau main solitaire). Tapi ’AHA’ juga menjewer kaum perempuan yang menerima itu sebagai takdir lantas nurut, tapi hatinya kecut. Di film ini, saya lebih menginginkan Si perempuan (Surti) tidak lantas mengeluh dan pasrah lalu ngambek, terus gabung ikutan demo, tapi ia justru memutar otaknya untuk menemukan solusinya sendiri. Karena menurut pemikiran saya, perempuan sama seperti laki-laki, dibekali sebuah kecerdasan, dan kecerdasan itulah yang seharusnya menjadi center point baik laki-laki maupun perempuan untuk segera berdamai lalu berbagi tugas untuk menghadapi hidup bersama-sama.
Indah bukan...?!
A H A
Script Writer : Adhie Pribadi
Producer : Prass HB, Sigit Ariansyah, Tina, Endro
Director : Sigit Ariansyah
Asst. Director : Prass HB
DOP : Ridwan Ramdhani
Art Director : Soni Ismayadi, Yani Sancai
Kapan nih filmnya di-release..? Mw dong nonton.. Hehe.. Ada sinopsisnya tak? Anyway, salam kenal yah! ;D
BalasHapusWah...senangnya, ternyata ada juga yang suka nulis tentang perempuan. Saya juga kebetulan lagi bikin tulisan ttg perempuan. Tapi kayanya masih banyak banget kekurangan! mau gak kita saling tukar pikiran atau berbagi informasi tentang hal ini?
BalasHapusKamu bisa buka blog saya di peuyempuanbandung.blogspot.com.
Thanks...