Jika tidak sedang menonton, anda pasti sedang ditonton. Sebab drama adalah anda, saya dan secuil ruang dunia yang sedang kita bagi ini....
17 September 2008

Rama, Shinta and Me...

Rama dan Shinta adalah dua ekor monyet yang sedang terlibat dalam sebuah pergulatan emosi bercinta. Emosi yang sewajar dan senormalnya musti dilalui oleh setiap makhluk yang mengaku hidup ciptaan Tuhan. Menjadi begitu, karena memang Tuhan pun menciptakan rasa cinta sebagai bagian dari hidup, seperi Dia menciptakan oksigen atau air.

Sebulan lalu Rama merasa perlu untuk menumpahkan apa yang dirasa tentang sekelumit ’beat’ cinta melalui degub dadanya kepada Shinta sang monyet betina.

Shinta (seperti tradisi aneh perempuan lain): ”Apa harus aku jawab sekarang?”
Rama (pun mengikuti tradisi aneh para pria dengan menahan diri): ”Ya kalau belum ada jawaban aku tunggu sampai kamu siap...”

Hanya itu, dan setelah sebulan berjalan Shinta semakin bingung. Karena seperti bathinnya saat itu, ia seharusnya bisa mendapat lebih dari sekedar Rama yang hanya seekor monyet liar. Meski hati kecilnya harus mengakui bahwa sejak awal hatinya pun punya rasa sayang untuk tipikal Rama. Tapi sebagai betina, ia pun musti ikut-ikutan tradisi bahwa perempuan sebisa mungkin harus mendapatkan si raja monyet biar masa depan hidupnya bahagia, berlimpah dengan buah-buahan segar yang bebas kapanpun ia mau petik. Paling tidak se-level di atas Rama pun it’s fine laah...

Selain menunggu sambil sedikit melempar rayuan dan godaan maut pada setiap jantan yang dijumpainya terutama sang raja, Shinta pun semakin bimbang. Kini lebih banyak lagi jantan yang harus ia pertimbangkan dan semuanya menunggu jawaban. Jika mau jujur, ia lebih cenderung ke Rama, meski masih ada sesuatu yang mengganjal tentangnya, entah apa itu. Tapi, lagi-lagi ia harus menerapkan tradisi aneh kaum betina bahwa kesungguhan Rama harus diuji terlebih dulu. Maka Shinta pun merasa perlu untuk berpura-pura.

Rama: Sudah lebih sebulan dan kamu belum bisa menetapkan hatimu untuk niat baikku?
Shinta: Tidakkah kamu tau bahwa betina memang harus begitu?
Rama: Maksudmu harus menggantung dan menjadikan jantan sebagai pilihan?
Shinta: Mungkin itu benar, tapi betina juga harus malu.
Rama: Malu itu harus! Tapi jangan samakan dengan gengsi...
Shinta: Maksudmu?
Rama: Kalau mengakui isi hatimu saja kamu begiitu sombong, bagaimana kelak kamu harus merendahkan diri dengan menyayangi aku dan anak-anak kita?
Shinta (terdiam sebentar): Kok kamu jadi ge’er? Lagian belum lama kamu tau aku, kenapa sudah bilang cinta?
Rama (tersenyum): Bagiku waktu segitu sudah cukup untuk pahami isi hatiku.
Shinta: Kok bisa? Gimana jika kenyatan sesungguhnya aku adalah pelacur?
Rama: Aku akan tetap mencintaimu.
Shinta: Gombal!
Rama: Aku bersumpah!
Shinta: Kenapa?
Rama: Ya, hanya karena itulah aku disebut jantan.
Shinta: Hanya itu?
Rama: Karena aku selalu berusaha mencintai kelemahanmu.
Shinta (sinis): Emang kamu tau kelemahanku, Huh..?!
Rama: Sangat jelas.
Shinta (sewot): Sok tau! Emang kamu tau dari mana?
Rama (masih tersenyum): Karena sampai hari ini aku sudah berkali-kali dicintai dan mencintai betina karena kelebihan mereka yang tidak satu pun kelebihan-kelebihan itu kujumpai dari kamu sampai detik ini.

Shinta terdiam, tertunduk. Otaknya berputar keras berusaha menangkis kata-kata Rama, dadanya berdegub kencang menahan sakit hati, tapi batinnya belum mampu membantah ucapan monyet jantan dihadapannya.

Shinta: Sebenarnya apa yang sedang kamu harapkan dari aku?
Rama: Sebenarnya sederhana saja. Cintai aku karena kelemahanku. That’s it...
Shinta: Kenapa begitu?
Rama: Karena aku tau, terlalu banyak jantan yang kau cintai karena kelebihan mereka.

Rama melompat ke sebuah cabang pohon lain tak jauh dari Shinta yang semakin berkecamuk tak karuan. Di dalam dadanya masih terjadi silang sengkarut khas ala kaum betina, antara setuju, sakit hati, gengsi dan kesombongan. Tapi ternyata energinya terlalu lemah untuk pertarungan itu saat Rama berpamitan untuk pergi jauh dan sebisa mungkin tidak akan kembali lagi.

Rama: Mulai sekarang, lupakan semua ucapanku biar engkau lebih bebas memilih apa yang kau inginkan…

Rama melompat semakin menjauh hendak pergi.

Shinta: Rama...!

Rama terhenti, bergelantungan di sebuah cabang pohon tanpa menengokkan wajahnya ke arah Shinta yang menatapnya dalam-dalam.

Shinta (berbisik): Kini aku tau, kamulah jantan yang paling mencintai aku Rama... Kamulah jantan yang ingin kucintai selama ini...

Rama: Maafkan aku Shinta... Aku tidak ingin kau mencintai aku karena kau anggap aku sehebat itu. Aku hanya ingin kau mencintai kelemahanku agar hidup ini indah...

Shinta terguncang hebat. Ia hanya bisa menatap Rama yang mulai menjauh. Tapi belum begitu jauh, tiba-tiba Rama kembali berhenti. Kali ini ia menengok, menatap wajah Shinta dalam-dalam.

Rama: Ada yang lupa kukatakan... Aku baru sadar hari ini, sungguh! ternyata kau saangat cantik.... Selamat tinggal Shinta...

Rama kini melompat sangat jauh dan benar-benar menjauh.

”Monyet sialan.. monyet sok....!”
Saya menggerutu habis-habisan karena puluhan biji kacang yang saya lemparkan, hanya beberapa saja yang termakan. Sampai saya menangkap ekspresi tunduk yang luar biasa dari monyet betina di dekat saya. Sesekali masih menatap si jantan yang kini berkerumun dengan betina-betina lain di ujung kandang sebelum tertunduk kembali.

Saya pun ngga bisa untuk ngga tertegun menatap ekspresi jujur di hadapan saya. Tapi itu real sekali dari seekor monyet. Saya memang termasuk yang kurang yakin akan kebenaran theori Darwin, tapi ngga bisa mengelak juga dengan bukti empiris bahwa monyet mempunyai volume otak cukup besar. Sampai saya menebak dan merangkaikan bahasa romance yang menurut saya luar biasa tersaji begitu saja di hadapan saya sebagai anugerah.

Tentu saja, biar saya dedikasikan karya ini untuk 'para monyet' sajalah...



(WARNING: Original story by Sigit Ariansyah for International Short Film Festival)


Read more ...
16 September 2008

Zakat Maut itu...

Mau mulai menulis dari mana, saya bingung!

Rasanya seperti hampir meledak, hari ini saya berkumur dengan nasi yang tiba-tiba hambar di mulut melongo saat TV di depan saya menyajikan berita duka yang sesungguhnya terjadi setiap tahun. 21 orang ibu-ibu dan nenek-nenek tewas kehabisan oksigen dan puluhan lagi dirawat dirumah sakit ketika berebut zakat bersama 7 ribu rakyat miskin lainnya.

Demi Allah! Zakat itu adalah hak mutlak bagi kaum miskin, dan kewajiban yang ngga bisa ditawar bagi yang kebetulan kaya.

Ironinya, untuk sebuah hak yang wajib mereka dapatkan, para ibu itu justru di-set lebih mirip mengemis massal dan mengubangkan diri dengan memohon-mohon di halaman rumah mewah sang dermawan. Sungguh, ekspresi-ekspresi yang tertangkap kamera sangat membuat hati saya sakit.

Bayangkan, untuk jatah 30 Ribu Rupiah per kepala yang barangkali ludes untuk makan sehari dengan 4 orang anak, mereka rela kehilangan nyawa. Sementara bisa jadi meja makan di hadapan kita bernilai tidak kurang dari Rp. 300.000 untuk sekali makan dan kita masih berani tersenyum sebagai saudara sebangsa.

Sebenarnya apa yang salah dengan otak dan hati Bangsa besar ini? Mekanisme kah? Atau kebodohan? Semua orang lalu berteriak tentang itu.

Sang pembagi zakat pun berkilah, sejak tahun 70an tradisi ini sudah berlaku dan selama itu aman-aman saja.

Saya bilang, itu berarti orang miskin di kampung loe nambah! Dan kalo masih mau bertahan dengan pola pikir juragan kolonial ya hidup aja di hutan. Apa musti semua orang harus tau bahwa loe berzakat, sampe-sampe kewajiban itu harus dibagi di halaman rumah?

Polisi pun ngeles: Tidak ada pemberitahuan apapun kepada pihak kami bahwa akan ada acara pembagian zakat.

Hmm... saya berpikir, mungkin pak Haji sudah tidak mau repot lagi ngeluarin ongkos tambahan di luar zakat yang tidak termasuk dalam pahala, malah bisa-bisa uang itu dibilang syubhat, lagi...

Si pembaca berita menyayangkan: Kenapa sih nggak menggunakan badan Amil zakat resmi saja yang ditunjuk oleh pemerintah? Kan lebih terorganisir dan aman?

Lagi-lagi saya menebak, Pak Haji si Dermawan itu mungkin membatin ”Siapa yang ngurusin? Depag? Departemen terkorup itu? Kali aja dia termasuk rombongan haji yang dulu pernah terlantar karena catering haji dari depag terlambat, udah gitu lauknya ngga layak karena disunat dan basi pula.

Wallahu a’lam bisshawab....

Well, diluar tebak-menebak yang sebenarnya ngga imajinatif juga, karena itu memang nyata, tampaknya bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini musti banyak belajar menggunakan hati agar pandai merasakan, bukan hanya pintar berhitung.

Duit, rizki dan nafkah selalu menjadi tema yang terlalu seksi bagi bangsa ini. Ketika Inul dan Dewi Persik diprotes soal goyang panggungnya, dengan enteng mereka berkilah: ”Lho.. niat saya kan cari nafkah?” atau ”Ini kan jalan rizki saya..” bla..bla..bla... Wah, tar maling, pengedar CD bokep dan koruptor juga boleh dong...

Wajar saja, karena kemiskinan adalah horor yang begitu ditakuti semua orang. Maka itu para orang tua hari ini pun masih merasa perlu untuk memaksa anak-anak mereka untuk menjadi ”kaya” dan ”terkenal” bukan menjadi ”baik” dan ”pintar”. Demikian juga nasehat untuk anak yang berangkat kerja masih berbunyi: ”Baik-baik dan dekatlah sama bosmu biar kerjamu lancar...” bukanya ”Bekerjalah yang baik dan benar biar kamu berguna..”! Ujung-ujungnya profesi dukun dan motivator laris manis saat jalan mulai buntu. Hmm...masih sama seperti jaman dulu. So, kemajuannya di mannaaa...... (ngga perlu tanda tanya lagi).

Wait...wait... bukan berarti saya anti dengan duit ya... tapi paling tidak sampai hari ini saya masih berpendapat bahwa semakin baik dan maju apa yang kita kerjakan, pasti akan mendatangkan rizki yang lebih baik pula, secara otomatis. Memang, syaratnya KKN tidak boleh terlibat di sini. Lha wong udah mati-matian kerja aja masih ada produser yang tega ngga mau bayar kok..! hehe... tapi itu soal person. InsyaAllah saya optimis, bangsa ini ke depan akan semakin cerdas menyikapi hitam dan putih. Amin...

Saran, barangkali untuk pembagian zakat di kampung, door to door saya rasa akan jadi pilihan yang lebih efektif. Beberapa Amil zakat saja cukup, karena memang ada jatah menurut syari’ah untuk Amil zakat. Tapi kelemahan metode itu memang ada, si pemberi zakat tidak lagi heboh dan tenar sampe ke mana-mana. Masih mau zakat kan..?

Pilih dengan hati bukan otak...!

Read more ...
02 September 2008

Kembali Ramadhan....

Seperti tersedot, aku justru menjadi masa kecilku jauh di Makasar, kali ini.
Tersendat, tercekat luluh untuk pertama kalinya setelah sekian tahun hampir terlupakan.
Suara-suara itu melantun secara apa adanya, secara kampungan dari corong masjid yang juga sudah lama tak lagi menggeletar di gendang telingaku.

Suara-suara dalam dan indah itu yang dulu menggandeng tanganku, membimbing hatiku tiap kali Ramadhan menjelang.
Hiruk dalam sepi, sejuk dalam kering diri seorang laki-laki kecil yang tak pernah merasa memiliki maupun dimiliki oleh siapapun.
Laki-laki kecil sombong keras-kepala, yang kelak akan jatuh bangun dalam sujud-sujud pemikirannya sendiri, membangun mimpi-mimpinya hanya berdua dengan Penciptanya, lalu membuktikan sedikit senyum sebelum kembali tertunduk dalam tangis, pada Ilahnya..

dan malam ini, masih seperti malam-malam kemarin, kembali membisikkan sesuatu yang sama di hati ini. "Tak banyak yang mengerti engkau wahai laki-laki kecil, tak banyak yang sanggup memahami mimpi terlampau besar-mu. Tapi tetaplah tegap dan bersyukur menjadi dirimu sendiri, seperti biasanya...

Marhaban Yaa Ramadhan..
suara tarhim itu kembali membasahi rongga ini, meski hari-hari penuh berkah itu tak lagi seindah dulu, ketika aku bisa benar-benar hanya berdua dengan Ilah-ku....
Read more ...
08 Agustus 2008

Menjadi Bahagia

Hmm... sesungguhnyalah itu sekelumit bahasa yang sama sekali tidak lagi indah. Menjadi begitu karena semua orang mengucapkan dan berlari untuknya begiiitu-begituuu saja
Lalu ungkapan sedih, gelisah, adalah horor siang maupun malam yang panjang dan sepertinya akan terus berkepanjangan, semua orang terbirit-birit lari darinya, pun begiiitu-begitu saja.
Sungguh! Maha Bijaksana Allah yang secara ilmiah telah mendisain hormon yang mampu menggerakkan urat-urat ketawa sekaligus melengkapinya dengan hormon lain yang bekerja memproduksi sebuah cairan yang kelak, orang bule menyebutnya ’tears’ sedang saya dan orang Indonesia lainnya menamainya ’air mata’, hanya beda tipis dengan sebutan kami untuk apa yang para bule bilang ’sperm’. (pikirin sendiri dah...). Itu pun menimbulkan kebahagiaan luar biasa meski Cuma sesaat.
Ada yang menerima kebahagiaan dalam salah satu episode hidupnya, iapun membaginya dengan orang lain, biasanya dengan cara memberi sedekah bagi yang kurang mampu atau sekedar berpesta pora dengan kawan-kawan dekat.
Jaman kapitalism ini, biasanya kebahagian secara awam diterjemahkan dengan angka-angka. Maka menerima gaji atau fee adalah kebahagiaan yang selalu ditunggu-tunggu, meski cuma sesaat. Saya bilang sesaat, karena tagihan gaya hidup sebulan ke belakang biasanya sudah melewati ambang batas.
Sedang bahasa yang paling populer untuk menerka seseorang adalah ’sukses’. Indikasi yang disepakati cukup kasat mata, yakni mobil mewah keluaran terbaru, berlibur ke luar negeri atau mampu nraktir beberapa kawan di restoran mahal. So, pujian dan asumsi ’sukses’ versi awam itulah yang membuat dada meledak-ledak karena bahagia, kepala pun makin membesar.
Tantangannya adalah, ”masih mau bahagia?”
Jawabannya “Ya iya laah...”.
Caranya? Bisa dengan menangis maupun ketawa. Dan untuk kebahagiaan itu, seringkali kita harus membuat orang lain menangis atau ketawa.
Ada saran? Not really...! Tapi buat saya pribadi, bisa mencintai dan dicintai adalah anugerah luar biasa. Meski untuk itu pun masih juga harus menangis dan membuat tangis.
Di atas semuanya, meski berat, sejujurnya saya merindukan menjadi makhluk yang selalu patuh pada hati atas semua perintah-Nya, dengan sepenuh cinta. Yakin, di sinilah bahagia sesungguhnya itu bersemayam, di dada ini!
Namun apa, sampai hari ini pun saya bukanlah siapa-siapa....
Read more ...
09 Juli 2008

Romantisme yang Gagah


Borte, sang wanita terpilih sejak usianya belum genap 10 tahun. Kelak dialah yang akan ikut andil mensohorkan tanahMongol yang teguh-perkasa itu, tanpa banyak bicara. Struktur rahang segi empat membuat karakternya begitu kuat sebagai wanita yang loyal dengan suara hatinya, berambut hitam panjang, bermata sipit dan berkaki kokoh menapak bumi yang dijunjungnya dengan cinta sepenuh hati. Begitulah Temujin dan para lelaki Mongol menentukan pendamping hidupnya. Sang Khan Agung itu beruntung. Kelak, di tahun 1206 Borte memang menjadi kekuatan luar biasa dalam menorehkan peta dalam separuh dari sejarah dunia, tepat di sisi romantis yang gagah bagi Sang Genghis Khan yang pemberani itu.

Meresapi Mongolia, sungguh! Saya hampir tidak peduli dengan keperkasaan fisik seorang laki-laki. Namun kejujuran, kepolosan dan keteguhan cara berpikir merekalah yang membuat gerakan mereka begitu indah saat mengayunkan pedang dan menebas setiap batang leher pengkhianat, kepala demi kepala.

Sambil men-dialog-kan sikap lugas. ”Orang Mongol bebas untuk memilih siapa tuannya...!” Pun saya menangkap keberanian dalam dialog; ”Orang Mongol tidak menyakiti anak-anak dan wanita...!” atau ”Orang Mongol tidak berperang untuk wanita...!” Sebuah sikap bangsa yang tidak hanya berani, tapi juga cerdas! (menurut saya lho...!).

Alasannya? Menurut saya lagi, Sebagai lelaki, Temujin paham betul di mana seorang wanita harus berada, ditambah pula wanita-wanita seperti Borte pun benar-benar mengerti untuk apa dia ada. Biarlah saya memberanikan diri menyebutnya ’Romantisme yang Gagah’. Karena suka atau benci, sejarah di manapun selalu mencatat, cinta seperti mereka itu seringkali terbukti melahirkan sosok dahsyat yang mampu mewarnai dunia dengan gerak pemikirannya.

Borte berkali-kali siap menunggu berapa tahun pun hitungannya, untuk kedatangan Sang Pahlawan hanya berbekal sepenggal tulang gagak putih. Borte pun berani maju untuk membebaskan kekasihnya dari keterpurukan. Semua itu dengan sepenuh hati, sebulat keyakinan yang tulus. Maka pahlawan besar itupun hadir dengan gagah-berani diantara senyum manis yang utuh, tanpa paksaan. Sama sekali bukan senyum manis seekor buaya lapar!

Temujin, laki-laki yang jatuh-bangun berkali-kali. Seperti sosok hebat lainnya dalam daftar tokoh dunia, Temujin telah mengulum pahitnya dikhianati sejak ia masih terlalu kecil, ketika ayahnya dibunuh oleh pengkhianat pengecut, juga saat wanita terkasihnya diculik, atau ketika ia harus memikul penghinaan karena kalah perang, lalu dijual sebagai budak belian dan dilecehkan dalam gelapnya kurungan sempit seperti binatang.

Namun sebagaimana seorang bhiksu bilang, Temujin memang manusia langka yang memiliki jiwa yang terlalu kuat untuk dipatahkan. Dalam intuisi-magisnya, sang bhiksu menangkap gurat masa depan Mongol yang dahsyat di wajah Temujin. Mongolia yang mampu menguasai hampir separuh peta dunia melalui pedang di tangannya. Untuk itu, sang bhiksu rela mati dehidrasi demi sebongkah tulang burung gagak putih untuk Borte yang masih juga kokoh berdiri.

Satu hal yang membuat jiwa Temujin begitu teguh, adalah keyakinannya kepada Tengri sang dewa petir. Saat tak seorangpun ada untuknya, ia selalu bersimpuh selayaknya manusia lemah lainnya untuk sebuah kekuatan lain, sebuah Invisible-Power. Maka keyakinan itulah yang mengalahkan Jamuha, saudaranya dalam peperangan besar yang tergambar jelas dalam satu lagi dialog favorit saya: ”Ketika tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi, maka satu-satunya yang harus aku lakukan adalah membuang rasa takut itu...!”

Memang cool..! Sebuah kemenangan yang wajar dan layak didapatkan seorang hamba dengan kualitas keyakinan jiwa seperti itu...

Saya cukup memahami lompatan-lompatan waktu begitu jauh menjadi pilihan Sergey Bodrov dalam mengatur plot ceritanya. Meski kadang harus menyayangkan jumlah fade to black yang begitu banyak, tapi Bodrov cukup cerdas menyiasati alur waktu yang memang terlalu panjang dan dalam untuk dibicarakan ditail semuanya dalam sebuah film.

Ini adalah versi kesekian dari epic Mongolia yang pernah saya tonton. Herannya, lagi-lagi saya ga pernah bisa mengelak untuk harus terkagum-kagum. Perjuangan rakyat Mongolia bagi saya memang selalu seksi untuk dirasakan.

Barangkali se-seksi Gadjah Mada, nenek moyang ’hebat’ saya yang tidak lagi populer di hati anak-cucunya, kecuali sekedar menjadi nama sebuah perguruan tinggi tertua dan label untuk jalanan semrawut. Karena satu per satu pengagumnya telah mati tanpa peperangan, seperti kakek dan paman-paman saya yang selalu menceritakan kehebatan Majapahit kepada saya, dan setiap kali saya harus melongo karena kagum.

Sayang sekali, beberapa TV-serie tidak mampu memenuhi imaginasi saya sewaktu kecil tentang Gadjah Mada. Sebab setahu saya Gadjah Mada tidak belajar kungfu, jadi ia tidak perlu berterbangan dan jungkir-balik ke sana-ke mari kayak Jet Li saat berperang menaklukkan Nusantara.

Wallahu a’lam....

Read more ...
13 Juni 2008

Catatan Kecil Buat Munajah Cinta

Sejujurnya saya sedikit malas mau nulis soal yang satu ini. Tapi saya menangkap satu keharusan (untuk nggak menyebutnya gatal).

Suatu hari, tanpa sengaja saya nonton trailer (promo) Sinetron 'Munajah Cinta'. Ada adegan seorang wanita (Zaskia Mecca) tiba2 terjatuh pingsan entah kenapa, saya kurang paham karna sakit apa. Kebetulan di dekatnya berdiri si laki2 (Baim Wong) yang baru saja berwudlu, berdialog more/less begini: "Aduh maaf ya.. saya nggak bisa nolong, karena saya sudah berwudlu. Aduh.. maaf...."


Beberapa saat kemudian Ustadz kondang (UJE) dengan nada provokatif dan promotif berkomentar kurang lebih begini: "Subhanallah.. Sinetron ini benar2 mengandung pelajaran Fiqih..."

Mmm... menurut saya (pribadi):

1. Kalo si tokoh wanita (Zaskia) itu kemudian meninggal karena nggak tertolong, maka manusia paling berdosa adalah Baim Wong (Tentu saja setelah produser, sutradara dan penulisnya).

2. Kalo kemudian sinetron ini diikuti jutaan pemirsa laki-laki yang sedang berangkat jum'atan lalu mereka tidak mau menolong seorang ibu atau nenek2 yang kebetulan terjatuh dari sepedanya di jalan, karena alasan sudah berwudlu, maka umat bangsa ini harus lebih cerdas menyikapi apapun yang akan mereka tonton selanjutnya ...


3. Buat Ustadz UJE dan ustadz2 lain yang terlibat, boleh saja memberi pelajaran apapun melalui media seperti ini, bahkan harus. Tapi musti hati-hati dan ngga sekedar untuk tujuan promosi yang terkesan berlebihan, deh...

4. Barangkali saya perlu meminta maaf atas kelancangan ini. Bisa jadi saya salah. Apalagi saya nggak sempat tau adegan selanjutnya. Jika selanjutnya ada karakter (tokoh) lain yang muncul untuk memaki-maki Baim Wong atas kebodohannya lalu bergegas menolong wanita sekarat itu, maka kritikan saya ini jelas harus gugur. karakter tersebut pastilah seorang Kyai atau Ustadz yang paham betul tentang Fiqih berikut dalil2 Ushul Fiqh nya.

5. Sekali lagi mohon maaf, saya memang bukan seorang Ustadz, apalagi Ahli Fiqih, tapi saya siap untuk berdialog, jika itu memang diperlukan, demi apapun... Entah itu demi film/sinetron Indonesia maupun demi keluarga kita yang tiap hari setia menonton TV berjam-jam...

Salam...
Maju terus Film/Sinetron Indonesia yang bertanggung jawab...!
Read more ...
22 Maret 2008

LoVE is cRaZY huH...?!

Sebenarnya sudah lama saya ambil gambar di atas dan sedikit saya beri sentuhan design grafis spontan, semau apa yang saya pikir saat itu. Saya di Jogja ketika itu, kebetulan sedang ada sedikit gawe untuk promo dan casting sebuah film di kawasan Kotabaru.

Macam-macam sebutan yang kita nobatkan untuk mereka, dari Orgil, Sakit Jiwa, Gembel, Kere, Glandangan, Wong Edan, dan lagi dan lagi... bahasa-bahasa yang sama sekali nggak enak itu berulang kali kita tanamkan dalam otak bawah sadar ini berikut lingkungan sekitar kita sambil meringis, kadang terbahak.

Sesekali saya lihat mereka ngobrol, lebih tepatnya berbisik entah tentang apa. Yang jelas saya yakin, lakinya nggak sedang membual tentang KPR-BTN dan wanitanya juga nggak terlihat merengek minta Sedan sport dua pintu atau Grand Cherokee. Satu-satunya yang saya tangkap adalah rasa saling menyayangi yang luar biasa diantara mereka, ada kebahagian yang benar-benar murni yang bisa saya rasakan di wajah mereka.

Menurut saya hanya di sinilah pepatah ’dunia milik berdua’ benar-benar berlaku. Lha wong saya jeprat-jepret ngelilingin mereka berkali-kali, tetep aja mereka nggak mau menganggap eksistensi saya ’ada’ di situ. Barangkali bagi mereka saya cuma ngontrak di dunia ini, hehe...

Saya jadi berpikir, jika dua orang yang telah kita sepakati sebagai Si Sakit Jiwa itu sanggup menggetarkan cinta-kasih melalui jiwa mereka seromantis dan semurni itu, lantas disebut apa kita-kita yang seringkali mengisi jiwa dengan pemahaman cinta sangat sempit hanya dari jumlah roda tunggangan, TV-flat 2 inch atau Kulkas 24 pintu...?
(jangan protes, saya juga tau itu kebalik
).

Love emang crazy! Kembali lagi...

Seperti magnet, objek di atas memaksa saya untuk terus tekun mengamati, memalingkan mata ini dari hiruk-pikuk acara yang berjubel wanita-wanita cantik sedang ikut casting itu. Lamaaa sekali sebelum saya akhirnya tersadar untuk mengeluarkan kamera dan memotret mereka. Hanya itu, sayang sekali. Hanya memotret dan sedikit ngobrol yang lebih terasa basa-basi nggak nyambung, tanpa ada hal lain yang bisa saya lakukan.

Dan hari itu saya pun belajar dari mereka, seperti yang spontan saya tulis sebagai copywriting pada design grafis beberapa tahun lalu itu:

Seperti oksigen,
Cinta adalah perasaan indah
yang berhak dimiliki oleh siapa saja....”

Read more ...
17 Maret 2008

Blueberry Pie Rasa Hongkong

Andai tanpa sengaja saya lewat glodok dan melirik film ini lewat pesawat TV yang dijual di sana, 5 menit saja, dijamin saya akan tau bahwa ini gambar ciptaan Wong Kar Way. Setelah lebih dari setengah jam saya melototin film ini, seringkali saya lupa bahwa semua settingnya ada di Amrik. Masih untung pemain-pemainnya berwarna dan berstruktur tulang bule serta tidak berbahasa Canton

Hanya itu yang mengganjal di pikiran saya. Di luar angle-angle puitis, extreme close up, permainan refleksi cermin, slow motion seperti biasa, Wong Kar Way masih sedikit berbahasa asalnya dalam gambar-gambar My Blueberry Nights. Nuansa merah saga itu masih begitu berbicara meningkahi dark-blue yang dipilih untuk suasana malam Barat yang berkabut, tidak lagi dari kepulan asap dan sinar bohlam remang-remang milik penjual makanan kaki lima di pinggiran Hongkong.

Bergaya story-telling narrative seperti biasanya, Wong berusaha menganalogikan pergulatan Elizabeth (Norah Jones) yang berbagi kegelisahan dengan seorang pemilik cafe bernama Jeremy (Jude Law) melalui medium Blueberry Pie bertabur Vanilla Ice Cream yang tidak disukai orang dan selalu tersisa tiap kali café tutup.

Elizabeth yang gusar mempertegas kecemburuan batinnya saat Jeremy mengiyakan pertanyaan bahwa pacarnya sering datang ke cafe itu bersama wanita lain.

“Apa ia lebih cantik? Lebih sexy? Ataukah aku terlalu buruk...?”

Semua itu oleh Wong Kar Way ditarik menjadi sebuah perpisahan panjang untuk menguak jawaban bagi Elizabeth melalui pertemuannya dengan berbagai karakter lain dengan pergulatan problematika berbeda, diantaranya, Arnie (David Strathairn), Sue Lynne (Rachel Weisz), Leslie (Natalie Portman), Katya (Chan Marshall) di kota lain, namun tetap sama-sama di cafe.

Sepertinya Wong kesulitan menemukan muara baru (selain cafe, offcourse!) bagi pergumulan karakter-karakternya. Memang, ada scene jalanan padang rumput Amerika ala Hollywood style. Beberapa kali, karakter Sue Lynne beserta problematika keluarganyalah yang justru banyak menyadarkan saya bahwa ini setting di Amerika. Namun masih ada beberapa dramatic-response terasa tragic dan melancholic khas Wong Kar Way yang sulit untuk saya terima bahwa itu dilakukan oleh Americans in America.

Memang, Blueberry Pie bertabur Vanilla Ice Cream yang kurang laku itu hanyalah soal selera. Pada akhirnya justru sisa-sisa Vanilla Ice Cream yang belepotan di bibir Elizabeth itu benar-benar menjadi medium yang cerdas bagi Wong untuk menciptakan adegan kissing dari hi-angle yang sangat sexy. Meski untuk itu memerlukan penantian panjang sebelumnya. Seperti penantian kevakuman penonton yang saya bayangkan untuk film yang berjalan lambat ini memang terlalu lambat untuk sebuah film commercial yang tentunya diharapkan mengeruk dolar.

Overall, Wong Kar Way tetap menjadi dirinya yang luar biasa berpengaruh bagi banyak filmmaker dunia, khususnya art film.. Gambar-gambar puitis, iconic, beat-beat sensual pada backsoundnya, terobosan cahaya blue-nite yang romantis, dan entah apalagi yang akan keluar dari kepalanya setelah ini.

And I’ll be waitin’...

Read more ...
07 Maret 2008

Tukul and The Unseen-Power

Fast and Various...
Kurang lebih begitu kesan saya sehari bekerja bareng sosok Tukul Arwana. Maksudnya, shooting (untuk sebuah iklan) itu berjalan cepat dan tepat. Karena saya baru sadar, Tukul cukup cerdas melahap materi dialog sebanyak itu tanpa ada reading apalagi rehearsal di hari-hari sebelumnya. Hanya sekali saya nge-brief dia sebelum camera roll. Various, sebab saya harus merelakan banyak waktu break untuk membiarkan setiap orang di lokasi shooting berfoto bersama sang superstars.

Menarik mengamati perjalanan satu orang ini. Tiba-tiba saja ia melejit, dibicarakan dan menjadi icon. Tiba-tiba setiap orang pengen berfoto bersama dia. Barangkali jutaan orang bernafsu dan melakukan apa saja agar bisa terkenal. Tapi Tukul, tiba-tiba ia bangun pagi dan menjadi seorang superstars. Tiba-tiba?

Nggak juga..! Di sela shooting ia banyak bercerita kepada saya tentang masa lalunya yang pahit, perjalanan jatuh dan bangkitnya kembali untuk memperbaiki kualitas hidup keluarganya dan seterusnya. Sebenarnya semua orang tau itu, karena infotainment sangat hobi mengangkat kisah-kisah semacam ini. Kisah financial-hero bagi keluarga emang selalu menarik.

Tapi saya menangkap sisi lain dari sosok Tukul ini. Dia memiliki kecerdasan spiritual yang oke. Seperti, bagaimana dengan detail ia menggambarkan bahwa setiap makanan atau minuman yang ia dapatkan ia syukuri sejak berada di tangan, memasuki mulut, melewati tenggorokan hingga sampai di lambung dengan terus berusaha ikhlas dan sadar mengucapkan ’hamdalah’. Merutnya itu sudah berjalan lama dan ia terus berusaha untuk menjaganya.

Luar biasa..! Dari banyak usaha-usaha spiritual menuju sukses yang mampir di telinga, bagi saya ini yang paling logic. Yang lain, seperti mandi kembang, angka keberuntungan, ziarah makam keramat bla..bla..bla... Semua itu cukup membuat saya merasa bodoh mendengarnya. Sebaliknya, ada juga orang yang dengan over-sombong meyakini bahwa keberhasilanya adalah melulu karena kerja keras dan keuletannya semata, biasanya ditambahkan juga (tapi sedikit lebih halus) bahwa semua ini karena kecerdasannya. Ia sama sekali lupa dengan campur tangan apa yang saya sebut ’The Unseen Power’. Spesies beginian biasanya membuat saya memikirkan sebuah penemuan baru, menciptakan pintu electric otomatis lengkap dengan remote controlnya untuk telinga saya. Hehe...

Saya pikir pantas saja Tukul bisa sehebat sekarang ini. Bagaimana dengan jatuh lagi? Someday? I said: Nothing imposible. Setiap kita emang tidak hanya harus siap tapi juga harus kuat menerima ’Rahmat’, sekaligus ikhlas jika suatu saat tertimpa musibah. Lho! Ya.. iya laah... Menurut saya lagi, kita hanya bisa mengantisipasi tidak lebih dari 50% saja untuk mengendalikan setiap kejadian. Sisanya adalah wilayah di luar jangkauan logika kemanusiaan kita, wilayah milik The Unseen Power, wilayah yang membuat banyak orang menjadi gila karena ikut-ikutan mikirin. Semoga mas Tukul tetap sadar untuk tetap kuat berpegangan, di posisi yang juga sedang menjadi tujuan kebanyakan orang itu...

Read more ...
14 Januari 2008

That Transformers


TRANSFORMERS....

Akhirnya saya tonton juga nih film... Setelah kuping ini gatal tiap hari denger film ini dielu-elukan dan dipuji habis. Bahkan gak sedikit koran atau majalah yang menjabarkan setiap detail kecanggihannya dengan meledak-ledak. Penasarannn...

I said, mmmmm...... just feels like I've seen before, somewhere....
Sumpah! gak bohong. Saya benar-benar merasakan bentuk lain dari Hollywood Billion American Dolars Show-off, terus Compulsed Hero asli Amerika (ofcourse he's the winner too), sedikit suspense dan lelucon khas Hollywood, lalu diakhiri dengan happy-touching ending seperti biasanya, lengkap dengan sepasang kekasih yang akhirnya jadian justru disaat film mau bubar. Pokoknya agak-agak mengharu biru gitu lah...

Film yang menekankan ketekunan teknologi post-pro dengan mengoptimalkan 3D animation ini memang berteknologi dan wow! Lagi-lagi dibalut dengan cerita tipis tentang betapa heroiknya Amerika yang kebetulan warganya terlibat aksi menyelamatkan bumi dari serangan klan Robotic dari planet lain. Seperti biasa, Ada robot jahat mengerikan yang hoby menghancurkan gedung-gedung dan membuat ratusan mobil saling tabrak, namun seperti biasa pula, ada juga robot baik hati yang dikomandani oleh Optimus Prime yang heroik, bla..bla..bla... (Pasti sudah tau, yang baik hati menang kan..?).

Awal-awal peperangan justru dilakukan (lagi-lagi) di Timur Tengah. Entah kenapa , tapi kayaknya ada hubungannya dengan dialog samar seorang tentara Amerika saat menangkap sinyal dari planet lain yang tak dikenal. Terjemahanya kurang/lebih begini: "Ini pasti teknologi Iran" lalu tentara lain tertawa sinis dan menjawab "Mana mungkin teknologi Iran semaju ini, hehe..."!

Hmmm... dua dialog yang sangat mahal biayanya dan sedikit maksa deh...! Sama juga dengan dialog lain tentang Handphone Nokia. Di tengah kepanikan, sempet-sempetnya ada dua orang Amerika memperdebatkan bahwa NOKIA itu bukan buatan Jepang, tapi Findland. Lalu dialog itu diakhiri dengan "Tapi NOKIA kan.. yaa gitu laah..." katanya sinis.
So, what ? Cuma mau nyuruh dunia pake HP produksi Amerika? It's just choice. Isn't it?

Okey..okey.. Uncle..You are the winner laaah...

Tentu saja saya sangat terhibur nonton film canggih ini. Tapi sejujurnya, saya benar-benar merasa brainless aja sepanjang durasi filmnya Michael Bay ini. Melongo, terpukau, terpaku karena kecanggihan teknologinya.
I guess,
this is another kind of hollywood hipnotizes... he he...
Bahkan ganjalan-ganjalan logika saya baru jernih ketika saya musti me-rewind lagi beberapa adegan dan dialog yang mmm... gimanaaa gitu..

Anyway..! Buat transformers, selamat untuk penjualan tiket maupun versi home videonya di seluruh dunia. Awesome!

I think I'm in such the mood of silly, right now...

Read more ...
06 Januari 2008

Plagiator of Photography


Lebih dari setahun lalu,
Saat itu saya tengah merampungkan screenplay, sebuah
Drama Romance untuk FTV. Sahabat saya datang, ngajak ngopi lalu berdiskusi seperti biasa. Tiba-tiba sahabat saya itu menyinggung soal naskah yang sedang saya geluti yang memang sempat dia baca sebelumnya. Dia protes ”Kok ceritanya sama kayak ’Cinta Silver’ sih? Kamu terpengaruh ya..”

Dhueng..!!!

”O ya??”, saya kuuaget dan puuanik, karena memang saya belum sempet nonton film itu. ”Bagian yang mana? Masak iya sih?”

”Halah.. itu kan sama-sama tentang foto model, fotografer dan kisah-kisah cinta mereka...”

Ketenangannya menjawab sanggup meyakinkan saya dan itu cukup membuat saya drop saat itu juga. Apalagi beberapa hari setelah itu masih ada dua atau tiga orang lagi yang berkomentar sama. Wah, tar dicap
plagiator, lagi! Tiba-tiba saya sibuk dengan kegusaran sendiri. Merombak plot cerita, mengganti karakter-karakter, atau memulai naskah yang sama sekali baru? Itu berlangsung berhari-hari. Finally tidak ada satupun yang saya lakukan untuk naskah itu.

Setelah Lebih dari setahun,
Beberapa hari lalu saya mendapat messeges di Youtube dari seorang teman dari komunitas film indie di Jawa Barat. Dia share ke saya bahwa dia baru menyelesaikan sebuah naskah film pendek dan akan segera ia produksi. Hari itu juga dia katakan baru saja selesai nonton sebuah Film Barat dan ia merasa bahwa banyak kesamaan dengan naskah barunya. Ia pun gusar, ”What do you think I’ve todo now?” nadanya seperti pasrah di email itu.

Me? Stupid Silent…

Percaya atau tidak, saya pergi ke rumah temen dan melihat DVD ’Cinta Silver’ di rak koleksinya. Spontan saya teriak ”Ini tak pinjem atau nyawa??” Dan malam itu akhirnya saya bisa nonton ’Cinta Silver’ meski hampir tanpa mempedulikan kecantikan Luna Maya. Karena saya bener-bener detail melototin setiap scene bahkan frame-framenya. Itu salah satu film Indonesia yang harus saya acungi jempol. Salut buat mas Lance.

Dhuengg Lagi..!!!

You Know What?? Saya tidak menemukan satu pun plot cerita, content maupun messages yang sama dengan naskah yang saya tulis satu setengah tahun lalu itu. Kecuali kebetulan sama-sama ada karakter fotografer dan modelnya. Okey.. okey.. memang masih ada yang sama lagi. Mau tau kesamaan lainnya? Yup! Sama-sama ada rumah, mobil, orang berjalan, handphone, tas, baju dan banyak lagi.

Secara photography memang ada beberapa imaginasi saya yang juga ada di film itu, seperti saat adegan pemotretan di beberapa lokasi. Tapi menurut saya wajar-wajar aja sih, dan saya yakin hasilnya jelas akan berbeda, mengingat eksekutor dan situasi /kondisi yang berbeda pula. Bagi saya itu saja tidak cukup untuk dicap sebagai Plagiator of Photography (hehe, dapet istilah baru nih..).

Seketika saya buka komputer dan membalas email teman baru saya di Youtube yang sempat saya cuekin. Ini copy/paste nya:
Kalo memang yakin ide ente original, tancap aja! dengan catatan tetap compromize jika memang ada yang terlalu sama persis.
Dalam soal ide, kebetulan sama, terpengaruh dan terinspirasi itu sah-sah aja. Kalopun musti sama, jika memang itu bukan ngejiplak, pastilah feelnya tetap beda. Sebab setiap orang pasti berbeda isi kepala dan taste. Kecuali ada yang terang-terangan ngejiplak atau ngutip mentah-mentah!

Maju terus n sukses ya...

Nonton setelah Lebih dari setahun,
Emang sih.. sedikit merasa seperti ketinggalan jaman gitu..
Makanya jangan sampai ketinggalan lagi! Tonton terus Film baru Indonesia (saran: yang punya taste aja dech..).

Iya.. iyaaa... sori! Mmmm..... NOMAT yuk?!

Read more ...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

AddThis

follow