
Wanita indah itu…
Di mata kecilku, ia teramat cantik, lembut, anggun dan cerdas. Rambut hitamnya yang panjang terbalut senyum manis itu terasa begiiitu menyejukkan. It's true...!
Sejujurnya, semua itu memaksaku mengakui simbol kesetiaan yang tertanam dalam-dalam di pangkal lubuk hatinya. Dia begitu karena dia cerdas...
Lembut belaiannya belum pernah pudar meski harus tersakiti oleh kerasnya ego-ku. Kesetiaannya tidak sedikitpun terbelotkan oleh pengkhianatanku. Kesabarannya adalah kasih sayang tanpa pamrih yang cukup teruji. Karena ia wanita yang tahu betul bahwa cintanya adalah hati yang tak pernah mungkin tergadai oleh berapa metric-Ton pun emas murni.
Ada saat aku harus pergi sebagai lelaki yang musti menantang kerasnya dunia. Kutinggalkan dia dalam sepi jiwanya bahkan sempat kulupakan ia begitu saja, diantara hiruk-pikuk keinginan-keinginan dunia dan kendali kapitalisme yang mulai bernafsu menghambakanku.
Namun apa? Aku kembali dan mendapati jiwa dan cinta itu masih utuh, tulus. Sepasang mata itu tetap jernih menelanjangiku seperti dulu. Utuh, tanpa cacat...!
Sampai detik ini, di mana justru jiwa lelakiku lah yang bisa membuatku kembali menangis untuknya. Dalam sepi, sendiri…
Wanita indah itu....
Selamat malam Ibu... Apa kabarmu di sana?
Demi Allah aku saaangat merindukanmu, Aku saaangat menginginkan kebahagiakan untukmu, meski aku tidak pernah berani mengatakan akan membalas cinta terbaikmu. Karena aku tahu, aku tidak akan pernah sanggup untuk itu...
Bahkan begitupun sampai detik ini aku masih juga merepotkanmu dalam malam-malam Tahajjudmu. Engkau paham betul, aku tidak akan bisa melanjutkan langkah ini tanpa restu dan doamu.
Masih juga aku memohon, Ibu harus terus ada untukku. Please…
Ibu... dari titik terendah ego seorang laki-laki, harus jujur kukatakan bahwa You are my first love that never end... dengan maupun tanpa HARI IBU….
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus