Jika tidak sedang menonton, anda pasti sedang ditonton. Sebab drama adalah anda, saya dan secuil ruang dunia yang sedang kita bagi ini....
23 Desember 2007

My First Love That Never End


Wanita indah itu…

Di mata kecilku, ia teramat cantik, lembut, anggun dan cerdas. Rambut hitamnya yang panjang terbalut senyum manis itu terasa begiiitu menyejukkan. It's true...!

Sejujurnya, semua itu memaksaku mengakui simbol kesetiaan yang tertanam dalam-dalam di pangkal lubuk hatinya. Dia begitu karena dia cerdas...

Lembut belaiannya belum pernah pudar meski harus tersakiti oleh kerasnya ego-ku. Kesetiaannya tidak sedikitpun terbelotkan oleh pengkhianatanku. Kesabarannya adalah kasih sayang tanpa pamrih yang cukup teruji. Karena ia wanita yang tahu betul bahwa cintanya adalah hati yang tak pernah mungkin tergadai oleh berapa metric-Ton pun emas murni.

Ada saat aku harus pergi sebagai lelaki yang musti menantang kerasnya dunia. Kutinggalkan dia dalam sepi jiwanya bahkan sempat kulupakan ia begitu saja, diantara hiruk-pikuk keinginan-keinginan dunia dan kendali kapitalisme yang mulai bernafsu menghambakanku.

Namun apa? Aku kembali dan mendapati jiwa dan cinta itu masih utuh, tulus. Sepasang mata itu tetap jernih menelanjangiku seperti dulu. Utuh, tanpa cacat...!

Ada malam ketika sepi membekukan ego ini. Ego yang sama, saat berpuluh tahun lalu teriak-tangisku membuatnya kelabakan ketika ia seharusnya nyaman dalam mimpi indahnya. Namun ia tetap lembut menghiburku, membelai jiwa ini dengan caranya yang tak akan pernah bisa ku lupakan sampai hari ini.

Sampai detik ini, di mana justru jiwa lelakiku lah yang bisa membuatku kembali menangis untuknya. Dalam sepi, sendiri…

Wanita indah itu....

Selamat malam Ibu... Apa kabarmu di sana?
Demi Allah aku saaangat merindukanmu, Aku saaangat menginginkan kebahagiakan untukmu, meski aku tidak pernah berani mengatakan akan membalas cinta terbaikmu. Karena aku tahu, aku tidak akan pernah sanggup untuk itu...

Bahkan begitupun sampai detik ini aku masih juga merepotkanmu dalam malam-malam Tahajjudmu. Engkau paham betul, aku tidak akan bisa melanjutkan langkah ini tanpa restu dan doamu.
Masih juga aku memohon, Ibu harus terus ada untukku. Please…

Ibu... dari titik terendah ego seorang laki-laki, harus jujur kukatakan bahwa You are my first love that never end...  dengan maupun tanpa HARI IBU….




Read more ...
20 Desember 2007

26 Desember Itu...


Dibalik Cerita
26 Desember 2004. Bangun tidur lalu nonton TV, kaget karena semua channel dipenuhi berita tentang terjadinya tsunami. "Ada apa..? Tsunami..! Di mana..?" tapi pertanyaan-pertanyaan akibat melek belum sempurna itu gak berlangsung lama. Saya segera paham telah terjadi bencana dahsyat di Aceh, gempa dan tsunami. Tapi....?

Merinding saya menyaksikan video kiriman yang diputar di sana. Percaya atau tidak, air mata saya benar-benar meleleh sebelum saya sadari sendiri. Hampir seharian saya duduk di depan TV mengikuti setiap perkembangan dengan isi kepala berkecamuk. Aceh, saya punya banyak sekali sahabat di sana. Bersamaan dengan itu, dari TV yang sama, lamat-lama saya mendengar lagu "Dari Sabang Sampai Merauke" diputar.

Tiba-tiba saya berpikir, entah gimana awalnya; "Apakah saudara-saudara di Papua sana sekarang juga nonton TV dan menangis sedih seperti saya ya...?" Mengingat, sahabat saya yang tinggal di sana pun nggak sedikit.

Nggak sabar menunggu jawaban, saya SMS beberapa teman di Papua tentang pertanyaan ganjil saya itu. Ada yang menjawab "Ya Iya laah...!". Yang lain membalas, "Hanya orang sakit jiwa kali, yang nggak ikut sedih...!"

Entah kenapa, tiba-tiba saya merasa seperti menemukan sesuatu yang baru dari Tuhan. Bahwa seandainya setiap orang di dunia ini menanggalkan segala atribut pribadinya seperti bendera, ras, suku, agama, club sepakbola, dan sebagainya, maka sesungguhnya seluruh manusia sudah dipersatukan oleh rasa, tanpa perlu kampanye apalagi maksa.

Dari situ, jadilah "DESEMBER'26" beberapa lembar screenplay yang kemudian kami produksi dengan perjuangan luar biasa untuk menjadikannya sebuah film. Harapan besar kami, semoga semua itu bermanfaat untuk dunia, untuk Indonesia, dari Sabang sampai Merauke...


Cerita
Dibalik
Mustahil mengeksekusi ide awal yang ada set
ting Papua. Titik. Yup! Emang dananya dari Hongkong...( kok, kenapa nggak Jakarta aja sih? Hehe..). Maka mengulik cerita harus dilakukan. Jadilah Jogja dan dinamika para mahasiswanya menjadi setting utama, dengan focus point pada mahasiswa asal Papua di sana. Anak muda dengan berbagai ciri jiwa mudanya menjadi pilihan kami untuk merangakai plot cerita menjadi lebih dinamis namun tetap natural.

Siang-malam selama tiga minggu kami habiskan untuk persiapan, casting, reading dan rehearsal. Kami lebur bersama lebih dari 80 orang pemain dari berbagai suku, ras, agama dan profesi termasuk kelompok-kelompok dancer yang luar biasa itu. Kerjasama yang sangat indah, menurut saya.

Besok pagi shooting, schedule sudah tersusun rapi. Tiba-tiba ada beberapa teman dari Papua yang datang sekitar jam 4 sore. Mereka sedikit mengkomplain beberapa bagian dalam content naskah. Mereka cukup terbuka, menurut saya. Kami pun berdiskusi berjam-jam. Cukup melelahkan tapi terasa asyik dan ilmiah. Finally, saya setuju untuk merubah beberapa point di dalam naskah itu sebelum shooting.

Lagi, malam itu saya berkutat dengan screenplay, membolak-balik cerita dan dialog. Belum lagi astrada yang juga kembali pusing harus bergumul lagi dengan shooting schedule yang otomatis jadi berubah total.

Sampai pagi, dan kami shooting sebelum tidur...

________________________

Judul : DESEMBER'26

Genre : Drama-tragedy-humanity
Production : Xcode & Zerosith
Writer & Director : Sigit Ariansyah

_______________________________
For more detail please visit
http://desember26film.blogspot.com


DESEMBER'26 TRAILER

Simply inspired by the Indonesian national song "Dari Sabang Sampai Merauke", It's a short film about union and humanity, smartly used Aceh Tsunami 2004 ago as the simple story background in a difference point of view from Papua students.

Read more ...
25 November 2007

Gondrong Opo Salak?

(So sorry I really can't translate it to any languages)

Malem-malem, seorang sahabat seprofesi saya datang tergopoh-gopoh. Meletakkan ransel, melepas jaket, menyalakan rokok lalu menatap saya. Tajam, serius dan meyakinkan, bahkan sebelum saya sempat menawarinya mau minum kopi panas, sirup kopi atau jus kopi seperti biasanya (don't ever try this at home!).

"Bro, aku mau bikin film dokumenter. Equipment, crew, everything sudah ready semua…!" katanya mantab sekali.

"Wah syipp! Dapet sponsor neh... berarti ke sini pasti mau ngasi aku job ya.." saya pun ikut sueneng.

"Bukan gitu, maksudku ke sini mau nanya, apa ente punya tema dokumenter yang bagus nggak?"

Gleg...!

Saya tiba-tiba jadi senep, bukan karena nggak dikasi job. Tapi kaget aja, kok bisa, mau berkarya kok content-nya baru dicari-cari belakangan?! Apa itu gak sama aja nyiapin piring dan sendok duluan, baru bertanya 'makan apa yak?' Hmm...

Sepengetahuan saya, ada saat kepala terasa mau meledak setelah melihat, mendengar, merasakan berbagai hal di sekitar kita, saat itulah saya biasanya menumpahkannya menjadi suatu karya apapun bentuknya, at least SMS. Bahasa gaulnya berekspresi gitulah... Dengan begitu saya berharap tahu dan paham betul apa yang akan saya bicarakan atau lakukan. Mungkin karena itu juga kenapa saya merasa stupid kalo disuruh bikin misalnya sundel bolos, suster ngepot dan spesies lain serupa itu. Tapi okelah.., teman saya bilang stupid is delicious . I think I need to try it anyway, hehe..

Berbeda dengan teman saya yang satu lagi. Sejak bertahun-tahun lalu saya melihat dia termasuk orang dengan pemikiran-pemikiran yang brillian. Bahkan ia juga cukup getol mempelajari hal-hal teknis dan toritis sebelum dia benar-benar melangkah. Sialnya, justru karena itu ia kemudian terjebak dalam ketakutannya sendiri dan tidak kunjung berkarya sampai hari ini. Menurutnya ia masih merasa belum mampu dan malu jika belum benar-benar menguasai teori.

Oh my Lord... plis deh, dong... teori mana yang bisa berhenti pada suatu titik beku tertentu? Yang ada juga teori dengan style-style baru yang akan terus bermunculan. Kalo kita berpikir bahwa berkarya itu sekedar unjuk kebolehan, kuntilanak pun ngga' akan pede untuk berkarya (kok kuntilanak?).
Tetap pada keyakinan saya, karena berkarya itu hanyalah mengeluarkan isi kepala secara apa adanya dan setiap kepala berbeda-beda isinya.

Emang sih, yang parahnya banyak juga yang belum sempet ngisi kepalanya sudah berkarya, laku dan kaya pula. Udah gitu episodenya diperpanjang, dapet penghargaan lagi. Habis itu jelas, yang lain ikut-ikutan. Hmm.. I lllooove this generation...

Jadi inget, saya pernah ketemu laki-laki gondrong yang menyapa saya di sebuah pertokoan. Saya hampir pangling, ternyata dia itu teman lama saya. (Teman mulu? Iya, soalnya kucing saya ngga gondrong...)

"Wah, kerrenn.. sekarang jadi gondrong gini ya?" kata saya kagum.

"Hehe.. iya neh, soalnya minggu depan aku mau kursus gitar...!"

Dhuengg...!!!

hmmm... Gondrong Opo Salak...?


Read more ...
24 Oktober 2007

Lebur..Lebar..Libur..Lebaran...


Tiga minggu menjelang lebaran kemaren.
Seorang Ustadz berkata. ”Alhamdulillah.. semoga Ramadhan tahun ini bisa me-lebur dosa-dosa kita dan segera kita sambut Idul Fitri dengan kebahagiaan atas lebar –nya semua kesalahan (dari terminologi Jawa, lebar berarti habis/selesai) dengan saling memaafkan”.

Dua minggu menjelang lebaran kemaren.
Seorang teman, karyawan menengah, mendatangi saya dengan muka cukup semrawut. Seperti yang anda duga, dia mengeluh atas jumlah THR yang ia terima dari bosnya ternyata jauh dari cukup untuk baju baru keluarganya, ongkos mudik, uang saku keponakan dan seterusnya...

Satu umpatan dari mulutnya yang justru hampir membatalkan sikap belasungkawa saya dan mengubahnya menjadi tawa ialah ketika dia berteriak ”Ini tehrr..lhaa..lhuu...!”

Satu minggu menjelang lebaran kemaren.
Seorang teman lain, juragan percetakan, saya temukan dalam kondisi sangat mengenaskan. Kepalanya yang mulai botak, kini bertambah uban pula. Segelas besar teh manis belum juga cukup menemani umpatan-umpatannya yang dikutip dari beraneka jenis bahasa itu. Semua itu karena ia wajib membayar THR kepada 12 orang karyawannya yang dia rasa sangat memberatkan.

Lagi-lagi saya dipaksa terbahak justru disaat saya mulai memasang ekspresi turut bersedih, ketika tiba-tiba mendengar umpatan terakhir Si Juragan; ”Orang-orang dapet THR (Tunjangan Hari Raya), Ee.. sayanya malah dapet Tendangan Hari Raya...!

Satu hari menjelang lebaran kemaren.
Si karyawan tampak kuereen dengan baju baru saat turun dari sebuah mobil kijang. Gak ada lagi wajah kusut yang kemaren saya kasihani. Istri dan anak-anaknya pun tampak begitu bahagia di dalam mobil.

Saya pun bertanya. ”Wah.. jadi mudik nih.. mobil baru..?”

”Iya doong.. biar mobil rental, yang penting kan di kampung bisa tampil gaya, hehe..,” jawabnya sebelum berpamitan lalu melesat menuju kampung halamannya.

Giliran Sang Juragan yang berpamitan dengan style sedikit lebih bossy juga dengan mobil kijang namun yang type keluaran lebih akhir. Padahal setahu saya selama ini dia hanya punya sebuah mobil kijang lama yang bodinya sudah agak keropos di sana-sini.

”Lho..! mobilnya ganti baru ya...,” tanya saya penasaran.

”Ini sih mobil rental... Masak, lebaran bawa mobil bututku itu? Gengsi dong, sama keluarga di kampung...,” jawab sang juragan, mmm... cukup elegan.

Bersalaman, mengucap selamat jalan, lalu bengong..! Itu saja yang saya alami sebelum akhirnya saya juga harus segera tenggelam dalam arus mudik yang menyesakkan dada....

Satu minggu setelah lebaran kemaren.
Kembali kami dipertemukan setelah arus balik. Hanya saja kali ini kami bertiga tidak banyak bicara, kecuali saling meminta maaf. Yang jelas kami semua makin jauh lebih kusut dari seminggu sebelum lebaran yang sangat kusut itu. Kata maaf itu menjadi terlalu mahal harganya di Negri ini...

Lha trus, Ustadznya?
Sayangnya, saya nggak ketemu beliau lagi..! Mungkin beliau saat itu lupa menambahkan dalam ceramahnya, bahwa di sini, setelah dosa-dosa itu lebur hingga lebar, masih ada libur wajib yang kadang terasa jauh lebih menguras energi daripada sebulan berpuasa itu sendiri...

Yahh..! Sekarang saatnya kembali kusut memikirkan hutang-hutang libur-lebaran itu biar juga segera lebur dan lebar....


Read more ...
20 September 2007

The Greatest Story of Love Ever...


Atmosfir Ramadhan tiba-tiba seperti membawa saya untuk sedikit merenung dari angle berbeda, sedikit lebih spiritual. Barangkali volume otak ini saja yang selama ini melulu berorientasi horizontal. Mungkin saya tidak perlu meminta maaf jika ada yang beranggapan tulisan ini tidak match dengan tema blog. Kalaupun harus minta maaf, ya saya minta maaf karena tidak meminta maaf. So, maaf ya...

Sebab saya sangat setuju dengan pendapat bahwa film dan kehidupan sebenarnya memiliki saling keterkaitan. Bicara film berarti bicara kehidupan beserta tetek-bengeknya termasuk sisi spiritual. Bicara problematika hidup adalah drama panjang sejarah kehidupan manusia yang datang silih berganti selama berabad-abad.

Well, berpuasa memang berat (untuk level saya). Sejak kecil, ketika saya bertanya kenapa harus berpuasa, semua orang menjawab dengan jawaban yang bagi pemahaman saya sangat manjanjikan tapi kadang justru sebaliknya, mendebarkan, seperti; biar dapat pahala banyak, biar masuk sorga atau biar tidak disiksa dan sejenisnya.

Barangkali itu benar! Tapi apakah hanya itu? Hanya ketakutan saja? Lalu di mana posisi rasa cinta dan syukur untuk Sang Pencipta Segala yang merupakan bagian amat penting dalam ritual ibadah kita?

Dulu saya pernah berpikir, jika perintah puasa hanya bertujuan sekedar membuat kita lemas karena lapar dan haus, mungkin sudah lama saya keluar dari agama saya dan barangkali memilih agama film saja. Nyatanya tidak demikian. Dengan puasa saya merasakan kesejukan luar biasa justru karena pernah mengalami kekeringan. Sejahat apa sih manusia yang nggak pernah berpikir untuk berhenti berbuat jahat lalu ingin bertobat?

Saya membayangkan, andai sekian detik saja Tuhan menghentikan suply oksigen untuk dunia, betapa megap-megapnya kita. Inilah yang membuat saya tidak pernah menemukan alasan untuk tidak mencintai Sang Penyuplai oksigen itu. Kalaupun harus berpuasa, kenapa tidak dengan alasan cinta saja? kenapa harus karena takut disiksa? Bukankah itu hanya akan menghentikan rasa cinta kita kepada-NYA dan seketika akan merubahnya menjadi rasa takut yang jelas tidak mungkin sama dan sebanding dengan ketulusan cinta. Bahkan yang sering kita rasakan justru hanya sebatas takut rejekinya seret. Hanya itu..!?

Itu sama saja pelajaran terpopuler yang telah membentuk mental kita sampai sekarang ”Berbaik-baiklah, nurutlah sama juraganmu biar disukai, lalu gajimu naik dan kamu cepat kaya”. Bukankah lebih sportif dan fair kalau nasehat itu berbunyi ”Bekerjalah yang giat dan bertanggung jawab, berkaryalah yang bagus agar kamu maju, perusahan tempat kamu bekerja juga maju dan kamu pun menjadi berarti sebagai karyawan”.

Whateva....

Tuhan mewajibkan puasa pun saya yakin dengan penuh kasih sayang untuk sebuah tujuan yang bermanfaat bagi kita dan jelas pada akhirnya untuk kita juga. Karena tanpa kita sembah atau kita patuhi perintah-NYA, Dia tetaplah menjadi Tuhan dan akan tetap berkuasa penuh atas dunia berikut tetek-bengeknya.

Saya teringat kegigihan seorang Rabi’ah al-Adawiyah, wanita sufi yang teramat saya kagumi kemurnian cintanya.

Suatu hari Rabi’ah membawa air ditangan kiri dan obor ditangan kanan “kemana engkau akan pergi Rabi’ah?” seseorang bertanya. “saya akan ke langit untuk membakar surga dan memadamkan api neraka. Agar keduanya tak menjadi alasan manusia menyembah Allah. Sekiranya Allah tak menjadikan surga sebagai pahala dan neraka sebagai siksa, masih adakah diantara manusia yang menyembah-Mu?”

Subhanallah...! Saya jadi berpikir, apakah Allah sampai harus menjanjikan surga dan mengancam dengan neraka sedemikian rupa untuk meraih pamor dari manusia yang notabene adalah karya cipta-Nya sendiri? Saya lebih yakin bahwa manusialah yang membutuhkan Allah, bukan stigma terbalik seperti yang menancap di pemahaman yang saya terima selama ini.

Sementara saya masih berkutat dengan puasa sambil gak berhenti ngebayangin kopi dan rokok, dengan gagah berani Rabi’ah al-Adawiyah berteriak menegadah ke langit:

"Tuhanku, kalau aku mengabdi kepadaMu karena takut akan api neraka, masukkanlah aku ke neraka itu, dan besarkanlah tubuhku dalam neraka itu, sehingga tidak ada tempat lain di neraka itu bagi hamba-hambaMu yang lain. Kalau aku menyembahMu berharap mendapat surga, berikan surga itu kepada hamba-hambaMu yang lain sebab bagiku Engkau sudah cukup".

Begitu dahsyatnya Rabi’ah al-Adawiyah mencintai Tuhannya. It’s so touching, pure, sincerely love and exactly The Greatest Story of Love ever…


Read more ...
01 September 2007

'Ju-Dou'

Feodalisme dan Eksotisme Tragis di Abad 20


Pernah nonton ‘
Ju-Dou’ kan?
Saya memang nggak berkeinginan un
tuk mengulas ditail film yang diperani Gong Li dan Li Baotian ini layaknya seorang kurator atau kritikus. Saya hanya terpukau dengan kecerdasan film yang diproduksi tahun 1990 ini ditambah lagi dengan gaya storrytelling-nya Zang Yi Mou yang meski cenderung lambat tapi mampu menahan bokong saya hingga credit title usai di 95 menit terakhir.

Disajikan dalam sebuah Drama Rural khas dataran Cina, Ju-Dou mencoba mengungkap kontroversi yang sebenarnya klasik, yaitu a Man Power dan local tradition power pada 1920an yang begitu mencolok di Cina (dunia?). Digambarkan, bagaimana cara pandang Jin-Shan seorang laki-laki pemilik Jin-Shan’s dye factory yang cukup powerful. Ia dengan paksa memperistri Ju-Dou, seorang wanita muda yang tak berdaya setelah dua istri sebelumnya meninggal karena ulahnya yang cenderung seperti seorang psycho tapi impoten. Hadirnya Yang Tian-qing, keponakan Jin-Shan untuk bekerja di sana membuat babak baru dalam alur menjadi romantic, passionate, melankolis dan berakhir tragis.

Siapapun akan tergila-gila dengan kemolekan Ju Dou yang diperankan dengan pas oleh Gong Li. Begitupun Yang Tian-qing yang mau nggak mau tiap malam mendengar Ju Dou merintih dan menjerit kesakitan karena disiksa oleh sang paman, siang harinya ia justru berkesempatan mengintip tubuh seksi bibinya itu saat mandi. Seperti dua sisi mata uang, di sini saya menangkap, Zang Yi Mou dengan cerdas membubuhkan rasa iba yang menyentuh sisi lain kelelakian yang diwakili oleh Yang Tian-qing. Selanjutnya ia tempatkan Ju Dou di posisi yang tidak punya pilihan kecuali jatuh cinta yang luar biasa kepada sosok laki-laki yang begitu care sama dia itu, dengan hati Bung, bukan paksaan orang tua atau lingkungan a la feodalism. Itu bertolak belakang dengan sang paman yang tampil mewakili sadism dan powerful-nya laki-laki yang menurut saya overtone.

Diantara pergulatan gairah dan bahasa hati yang tervisual dengan fotografi yang sangat eksotik melalui cahaya-cahaya terobosan matahari Cina serta rural landscape dan artistik khas Cina-feodal yang memukau, sumpah! saya dan mungkin penonton lain sempat benar-benar dibuat menghalalkan perselingkuhan itu, bahkan menikmatinya. Bukan erotisme low-taste yang saya tangkap, tapi sensualitas pergumulan yang sangat menyentuh.

Namun lahirnya seorang anak dalam koloni ganjil itu kemudian menjadi benang merah yang tiba-tiba membalikkan saya untuk menghentikan pembelaan atas nama dendam kesumat. Sempat, saya merasa sebagai penonton yang nggak punya pendirian. Tapi kenyataanya oleh Tuhan saya dibekali hormon yang bisa membuat saya iba juga saat menyaksikan Pak Tua yang kemudian lumpuh dan telah kehilangan segalanya, hanyai si kecil yang ia harapkan sebagai anak kandung yang akan memakai marga keluarga di belakang namanya. Meski jelas, he’s not..!

Kenyataanya, si kecil dibuat dengan lugu menyukai Pak Tua dan membenci kedua orang tuanya. Anak ini, oleh Zang Yi Mou seringkali dijadikan suspense yang cukup berhasil membuat saya ketir-ketir (ini bahasa kutub). Katakanlah cukup sorot mata si anak yang terasa misterius, atau shocking di adegan mengejar seorang tetangganya dengan parang terhunus. Dan dialah yang menyelesaikan alur yang menurut saya kuerreeen itu dengan tragis.

Film yang dibuat tak berselang lama setelah tragedy Tian'anmen Square massacre (4 Juni1989) ini, menurut saya berhasil menambah deretan daftar hitam bentuk-bentuk kekerasan dalam bungkus tradisi feodalism dan sisi revolusi politik di Cina pada abad ke 20. Pantas saja jika film ini dinominasikan di Academy Award untuk kategori Best Foreign Film, di-screening di Canes Film Festival dan banyak festival kelas dunia lain.

Brilliant..! batin saya spontan. Zang Yi Mou dengan genius berbicara menggunakan elemen air sekaligus api untuk membunuh karakter-karakter yang tidak dia pilih atas nama baik dan buruk hanya dengan si kecil. At least, dia tidak menjadi sutradara Cina yang menyelesaikan setiap masalah hanya dengan duel kalah-menang atau dialog bertele-tele. Setidaknya, kali ini saya nggak menemukan dialog yang berbunyi ”Dasar tak berguna...!” di film cina. Hehe...

Eksotisme Cina memang sudah menjadi milik dunia sejak lama melalui tangan-tangan dingin Sutradaranya seperti Zang Yi Mou, Chen Kaige, Tian Zhuangzhuang dan lain-lain melalui film-film mereka yang cerdas. Mereka telah berhasil memaksa dunia membuka mata dan mengangguk untuk Negeri mereka.

Kita? Alhamdulillah kita punya Saur Sepuh, Joko Tingkir, Sultan Agung dan banyak lagi. Bahkan sekarang ini, ada tarian dan nyanyian yang tiba-tiba menyelip di sela pepohonan Nusantara kita yang rindang melalui layar kaca (bentar lagi ada kobra juga lho, glek...!.). Ohh.... alangkah indahnya merah-putih berkibar diiringi tetabuhan yang entah gimana dulu ceritanya, genrenya mirip-mirip dangdut yang kita punya...

_______________________________________

Genre : Drama, Rural
Cast : Gong Li, Li Baotian
Produced by : Tokuma Shoten / China Film
Film Producer : Zhang YiMou
Durasi : 95 min
Film Director : Zhang YiMou

___________________________________________


Read more ...
17 Agustus 2007

MERDEKA Bung....!?

Beberapa hari lalu, ditengah-tengah shooting iklan sebuah produk makanan yang cukup melelahkan, Handphone saya nggak henti-hentinya berdering. Bahkan sampai di studio Post-Pro, saya masih harus menjawab beberapa telpon dan SMS dari teman-teman lama. Rata-rata soal Tujuhbelasan. Sampai-sampai 50% inbox saya bertema Kemerdekaan. Ya, seputar kegiatan dan kepanitian acara.

Agustus tahun ini, saya beberapa kali didatangi atau sekedar ditelpon teman-teman lama yang kebetulan terlibat atau dimintai tolong oleh panitia kegiatan Tujuhbelasan, entah itu di kampung, cafe, mall-mall atau instansi besar. Kemudian teman dan sahabat-sahabat saya itu dengan penuh semangat ’45 mengalihkan bantuan itu ke saya. Memang, rata-rata bantuan yang mereka minta nggak begitu berat apalagi sampai merepotkan. Ada yang minta saya mengusahakan LCD Projector atau screen gratis, ada yang meminta film-film saya untuk diputar, jadi pembicara, nyebar undangan SMS berantai dan seterusnya. Yang paling banyak, mereka minta bantuan saya untuk mencarikan film-film lama bertema perjuangan Indonesia seperti Janur Kuning, Soerabaia 1945 dan yang sejenis itu.

Asyik aja... Saya sangat senang bisa membantu mereka. Apalagi ini memang dunia di mana hari-hari saya berada selama ini. Hanya tiba-tiba kepikiran aja soal pemutaran film yang akhir-akhir ini semakin marak di event apapun dengan film-film yang sesuai tema tertentu. Bulan Agustus seperti ini, jelas film-film perjuangan is The Most Wanted, satu level di atas film-film bertema nasionalisme lain yang nggak secara langsung menyuguhkan perjuangan dalam arti fisik.

Ini menggembirakan! Setelah sekian lama Indonesia seperti bangsa yang nggak punya karya film, artinya seakan-akan nggak ada manusia Indonesia yang menyajikan Indonesia-nya melalui film kepada dunia, kini saya kembali bisa merasakan masa kecil yang setiap minggu bisa lihat mobil KB dan produk Jamu memutar film-film Dalam Negeri dengan layar tancep di kampung-kampung. Pernah juga yang lebih elit, ke bioskop rame-rame sama temen sekelas dan pak Guru karena harus menyaksikan pembantaian sadis berdarah-darah ala G-30-S PKI itu di usia kami yang belum genap 13 tahun. Mmm... cukup membanggakan....!?

Meski berbau propaganda dan promosi, tetap saja, saya merasa harus bersyukur menjadi penduduk yang negaranya bisa bikin pilem, hehe... Tinggal si pilem-maker nya aja yang musti lebih bertanggung jawab dengan apa yang sedang mereka sajikan kepada masyarakat dunia, bla..bla..bla....

Saya punya pemikiran bahwa masyarakat kita adalah masyarakat penonton” dan bukan masyarakat ”pembaca” yang baik seperti orang-orang eropa. Itu kenapa, wayang kulit, ketoprak, ludruk dan sebagainya menjadi primadona di jamannya. Bahkan saya sempat iri dan sedikit bingung dengan loyalitas penonton wayang kulit. Gimana nggak heran, cerita wayang selalu sama di manapun. Begitu juga dengan tokoh-tokoh berikut karakter yang diperankan, bahkan backsound dan soundtrack yang mengiringi mood ceritanya sepanjang malam pun sama. Satu-satunya yang membedakan pementasan wayang kulit hanyalah Ki Dalang. Begitu kharismatiknya aura beliau, hingga nama besarnya sanggup mendatangkan puluhan penonton, yang nota benenya juga sama . Mereka-mereka itu jugalah yang menonton pertunjukan di malam-malam sebelumnya, di tempat berbeda.

So, saya nggak melihat alasan, kenapa pernah ada ketakutan bahwa film Indonesia akan ditinggalkan penontonnya. Kalaupun memang terbukti pernah, saya terpaksa harus cari-cari alasan, kenapa penonton sampai tega (atau terpaksa?) meninggalkan Film Indonesia begitu saja...

Well, ngomong-ngomong soal film perjuangan, ketika seorang teman meminta saya untuk mencarikan film-film perjuangan, secara spontan saya menjawab; ”Lho... Semua filmku itu film perjuangan...!”. Maksudnya, saya bisa bikin film-film itu yang penuh perjuangan, hehe... Yang pasti sering nombok, ke sana-ke mari ditolak sponsor mulu, lembur tak berujung, ditagih catering, belum lagi terpaksa ngedit ulang karena hardisknya kena virus (Dengan ini saya doakan, pembuat virus yang telah berhasil menghancurkan film terbaru saya ”DECEMBER’26”, segera bertobat dan diampuni dosa-dosanya. Amiiin...).

Toh, Perjuangan belum berakhir. Film kita belum sepenuhnya merdeka. Film kita masih dipandang hanya sebagai hiburan semata. Meski menghibur, film seharusnya bisa memberi sesuatu kepada penontonnya. Meski butuh hiburan, penonton seharusnya mencari sesuatu dari sebuah film.

Karena bagi saya, film kadang menjadi wakil dari buku yang nggak sempat saya baca, nasehat orang tua yang terlewatkan dari telinga saya, pengalaman getir saudara saya di belahan lain planet ini yang nggak mungkin saya alami sendiri, bahkan kadang mewakili Kyai di pengajian-pengajian yang nggak kebagian waktu sok sibuk saya...!

Jogja, Tujuhbelasan 2007

Read more ...
12 Agustus 2007

Jazz, Film dan Anak Jalanan

Malam itu di sebuah café, saya punya kesempatan duduk dan ngobrol panjang lebar dengan pianis Jazz terkenal asal Kanada, Ron Davis dan istrinya yang juga jazzer. Baru malam kemaren mereka memukau puluhan penggemar Jazz di Jogja setelah Bali, Jakarta dan kota-kota besar dunia lain dalam rangka tour dunianya. Yah, cukup soal dia... siapa sih yang nggak tau dan mengakui kehebatan dia. Tapi saya juga baru tau malam itu bahwa dia ternyata seorang filmmaniac juga. Meski saya juga gak lupa mempertegas bahwa I’m not a kind of the Indonesian famous director. Saya hanya sutradara kakilima, hehe…

Dari memperbincangkan Jazz yang membuat saya jadi merasa sok tau tentang jazz sampai ke film, entah kenapa Ron begitu antusias dan terus mengejar saya, setelah saya menjawab pertanyaan istrinya bahwa film yang sedang saya kerjakan adalah sebuah documenter tentang anak jalanan, yang rencananya akan kami jadikan sebuah feature film jika ada sponsor. Dia mengintograsi saya seperti detektif, lalu diam melongo seperti anak TK saat saya bercerita atau mengutarakan pendapat.

”Oh my God...! it looks like CITY OF GOD, the Brazillian Film. I llloove that movie. It’s a real, it’s a life…” katanya nyerocos membuat saya yang gentian bengong. Tapi saya suka, meskipun agak kaget. Karena saya juga llloooove sama film yang satu itu. Dari situ kami tenggelam dalam sebuah perbincangan tentang hidup, kehidupan dan apa saja, yang jelas kami menjadi sama-sama lupa diri...

Well, Ada sebuah anggapan umum, bahwa pindah dan tinggal di kota besar adalah satu-satunya cara untuk maju dan berkembang. Hegemoni pendapat itu kemudian menjadikan kota seperti sependar cahaya terang yang menjadikan kaum urban kemudian berbondong-bondong memenuhi sudut-sudut kota. Ternyata tidak semua bisa meraih impiannya di sana. Ada yang terpuruk, banyak yang putus asa.

Yang menggelisahkan adalah anak-anak dibawah umur yang terpaksa berada di jalan dengan berbagai alasan. Jadilah mereka kemudian ramai-ramai kita sebut sebagai anak jalanan. Ya, dalam benak kebanyakan orang terselip sebuah tuduhan yang tidak terucap bahwa mereka seperti komunitas kiri yang meresahkan.

Meresahkan? Tergantung, dari sudut pandang mana kita melihat. Jika kita hanya mengintip dengan sebelah mata atau melirik saja, itu bisa diterima. Tapi sebelah mata saja bukanlah representasi cara pandang yang akurat.

Sesaat kami datang dengan sekeranjang nasi bungkus untuk menu buka puasa, saat itu pula nasi-nasi itu ludes dan mereka makan dengan lahap. Saya menangkap sorot mata anak-anak usia sekolah itu datar, sangat datar sampe-sampe saya nggak bisa memahami apa artinya dan untuk apa sorot pandang seperti itu. Bahkan ke siapa pun sorot mata mereka ya seperti itu, sama.

Agus 12 tahun, berasal dari Bandung. Dia pergi dari rumah dan hidup di jalan karena bapak/ibunya bertengkar melulu. Awalnya ia memang sedih harus di jalan. Tapi di sisi lain, justru membuat hatinya lebih merasa puas dan bahagia. Ia merasa berhasil berunjuk rasa kepada orang tuanya dan ia merasa jiwanya kini lebih bebas mau berbuat apa saja dan kapan saja.

Astri (bukan nama sebenarnya) 15 tahun, saya temui dia di sekitar gerbong rusak di Stasiun Lempuyangan Jogja. Wajahnya kuyu, pucat, kulit legam dan rambut memerah karena matahari. Matanya kosong seperti pasrah. Tidak seperti Agus yang malah mau menyanyikan lagu ciptaannya untuk saya, Astri menolak dan hampir melarikan diri saat tau saya datang dengan membawa kamera. Saya mengalah, saya teriakkan ke dia bahwa saya tidak akan men-shoot dia. Di depannya, kamera kembali saya masukkan ke dalam tas, dan berhasil. Setelah lama saya ngobrol dengan dia, lebih tepatnya saya yang banyak omong karena dia hanya menjawab rata-rata dengan satu kata, ada yang menarik perhatian saya. Perutnya membuncit. Pikiran saya langsung menebak, hamilkah? Dia tidak menjawab, tapi hanya mengangguk sambil tersenyum datar.

Sesaat saya bingung harus tersenyum juga dan mengucapkan selamat atau harus sedih dan prihatin untuk gadis 15 tahun di depan saya itu. Entah seperti apa ekspresi dan reaksi saya saat itu, yang jelas tiba-tiba meluncur sebuah pertanyaan basa-basi yang menurut saya standard.

”O... Sudah berapa bulan? Bapaknya ke mana nih? Lagi kerja ya...”

Tapi ternyata saya baru sadar bahwa itu pertanyaan menjadi sangat serius di sana dan saya gak siap menerima jawabannya. Astri memang gak langsung menjawab. Ia tersenyum lebih lebar dari yang sebelumnya sebelum berkata enteng:

”Bapaknya banyak, gak tau yang mana, ha ha...!”

Dhuenggg....!!! Saya semakin ga bisa mengontrol ekspresi dan emosi saya. Musti gimana saya harus bereaksi. Kalaupun harus berakting, saya gak punya pegangan direction yang jelas (katanya sutradara..?!). Bukankah seharusnya Astri sedih, stress, putus asa seperti umumnya orang kebanyakan? Tapi begitulah lingkungan sudah membentuk mereka.

Memang tidak semuanya memiliki kisah sama seperti Agus atau Astri. Ada yang terlalu dramatik karena kedua orang tuanya sudah meninggal, ada juga yang memang bersama-sama orang tuanya berada di jalan untuk hidup. Yang terakhir memang banyak menuai tuduhan miring dari sebagian masyarakat. Gimana nggak kesel? Udah macet, panas, stres mikir kerjaan, eh, malah ada yang nongol di jendela mobil minta duit...!?

”Seharusnya mereka usaha dong..!” begitu bunyi protes kita biasanya. Well, setelah saya ikut hidup beberapa hari bersama mereka, saya sempat merasakan betapa mereka tidak punya pilihan. Seperti juga mereka harus hidup keras agar tetap bisa bertahan dan tidak menjadi bulan-bulanan anak lain di gank. Suka tau tidak, tanpa mereka sadari mental mereka akan terbentuk dengan pasti. Namanya juga anak-anak.

Memang pemerintah melalui Dinas Sosial telah membuat program-program seperti mendukung Rumah Singgah untuk menampung mereka. Dari perbincangan saya baik dengan Dinas Sosial maupun Rumah Singgah, ada kecenderungan bahwa anak-anak itu merasa bosan tinggal di sana, mereka lebih memilih di jalanan. DinSos bilang, padahal dana yang kami alokasikan untuk ini besar sekali. Rumah Singgah dan LSM bilang, dana dari pemerintah seret, jadi kami harus pontang-panting cari tambahan sendiri. Ah, tau ah.. lupakan saja, itu selalu terjadi di sini, dan akan selalu...

Saya merasa anak-anak itu mau gak mau akan terbentuk menjadi sosok-sosok yang keras, egois dan spontan. Saya khawatir ini seperti bom waktu yang pada saatnya nanti akan meledak dan berubah menjadi kriminal dalam skala besar di seluruh Indonesia. Kemungkinan itu pasti ada. Sialnya, merekalah yang akan berdampingan dengan anak-cucu kita kelak dalam menjalankan roda Negeri yang masyarakatnya terkenal sopan, arif dan bijaksana ini.

So, masih berani cuek..?!

Dan malam itu, Ron menyodorkan dua lembar kartu nama. Satu miliknya, yang satu lagi milik sahabatnya seorang kurator film di Toronto Film Festival.

”He is my best friend,” katanya. “Please, we’ll be wait your film in Toronto Film Festival. We always be there for such kind of great movie. You have to finish it.. you have to do it..!”

Lagi-lagi saya bengong. Paling tidak saya musti shoot dengan 16 mm untuk bisa ke sana. Lha dananya dari mannna..?! Tapi fine, saya belum menyerah. Siapapun yang membaca artikel ini, saya mohon ketulusan doanya ya......

Read more ...
06 Agustus 2007

Selamat Jalan Pak Noor...

Secuil kenangan terakhir bersama beliau...


Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un….

Hari ini, Senin 6 Agustus 2007 pukul 2 dini hari. Seorang sahabat, guru, dan partner buat saya, NOOR WA, begitu Dramawan, Aktor, Sutradara dan Seniman luar biasa itu biasa disebut-sebut, telah pergi menghadap Sang Pemilik Jiwa, di usia 59 tahun.

Seperti ada palu godam menghantam keakuan saya saat kabar itu datang pagi-pagi. Sebab baru tadi malam saya jenguk beliau langsung setelah ada kabar bahwa beliau masuk rumah sakit. Sempat saya elus pundaknya sambil membisikkan ”sabar ya pak, cepat sembuh, tugas kita belum selesai....”

Sebulan lalu saya diundang ke rumah (kontrakan) beliau:

”Dik Sigit, ini saatnya aku harus membuat masterpiece karya terakhirku. Aku wis tuwo dik..! Saat ini aku percaya Dik Sigit bisa nyutradarai naskahku ini...,” barulah beliau benar-benar melepaskan sebundel naskah agak kumal dari tangannya meski telah disodorkan dari tadi ke arah saya.

Sebuah judul besar di cover: ”TARIAN SUKMA”, film screenplay.

Spontan saya tersenyum, beliau pasti bercanda. Itu naskah yang sinopsisnya pernah diceritakan kepada saya dulu di sela shooting saat beliau bermain di film saya ‘LTB’. Dan itu pun sudah membuat saya bergidik waktu itu. Rencananya beliau akan sutradarai sendiri naskah itu. Jika bener-bener terlaksana, ‘Tarian Sukma’ akan jadi satu film Indonesia yang luar biasa, yang layak dibanggakan, pikir saya waktu itu. ”Ini film harus masuk 21 (Twenty One). Saya dukung pak..!”

Tapi malam itu saya menangkap sorot yang terlalu serius dari mata beliau.

”Serius, pak? Apa ga salah?!”, senyum saya berubah jadi kecut. Ternyata, sorot mata itu tidak berubah seperti yang saya harapkan. ”Lha... lha dananya...?”

Secangkir kopi dan asap rokok malam itu memulai hari-hari kami memeras otak dan intuisi untuk menggodog naskah hebat itu. Terhitung sudah 3 kali kami bertemu dengan seorang Penyandang Dana dari Semarang yang begitu antusias dan tertarik untuk memproduksi film itu. Semua berjalan begitu dan begitu, hanya menunggu waktu dana itu cair. Meski saat ini saya sendiri belum berpikir bagaimana kelanjutannya setelah beliau keburu pergi, sedikit seperti putus asa...

Apapun, begitulah saya mengenang sosok NOOR WA yang selalu menyiratkan semangat idealisme tinggi untuk kali terakhir. Masih terlalu banyak tentang perjalanan dan perjuangan beliau yang tidak akan pernah punya cukup spasi untuk ditulis di halaman media manapun. Satu hal yang saya sesalkan, saya kenal dekat dengan beliau justru di saat-saat terakhir beliau menghirup oksigen bersama-sama.

Tumpukan naskah berkelas dan masih hanya naskah sampai akhir hayat beliau itu, sepatutnya menjadi PR buat generasi kini, buat harga diri bangsa ini. Sudah saatnya kita musti lebih bertanggung jawab menyuguhkan sesuatu yang berkelas untuk konsumsi otak bagi anak-cucu bangsa ini kelak. Itu pun jika kita masih mau disebut sebagai sebuah bangsa yang berbudaya, beradab. Sebab anak-cucu kita kelak tidak hanya butuh hiburan seadanya dari sebuah tontonan, tapi mereka lebih membutuhkan sesuatu yang sedikit lebih bertanggung-jawab dari kita untuk suplai otak dan mental mereka. Seperti buku, film bukanlah semata-mata menjadi hiburan. Meski mau gak mau kita memang terhibur namun juga bisa belajar dari sebuah film (yang bagus).

Selamat jalan Pak Noor... semoga Sukmamu bebas terbang dan menari indah entah di mana. Sebab di sini Tarian Sukma terlalu sulit untuk didendangkan dalam hiruk-pikuk ego kapitalisme ini...

Read more ...

Mau Kaya Apa Idealis…?!

Entah sudah berapa juta kali, pertanyaan itu berulang-ulang saya dengar baik dari keluarga, teman atau sahabat dekat saya. Well, saya akui itu sebuah bentuk perhatian yang menyenangkan (dengan sementara waktu mengesampingkan distorsi artinya). Dan biasanya saya akan tersenyum sambil menepuk bahu atau apapun karena bingung menjawabnya. Thanks anyway...

Menurut saya, itu pertanyaan konyol. Dari sudut pandang bahasa maupun logika manapun itu pertanyaan ga nyambung. Yang benar seharusnya pertanyaan itu berbunyi: ”Mau kaya apa miskin?” atau ”Mau ideal apa tidak ideal?” begitulah dua kata yang berlawanan seharusnya ditempatkan, bukan..? Anda juga ga bisa kan, seenaknya bertanya: ”Kamu mau pizza atau digebukin?!

Jika begitu pasti saya tidak lagi seperti orang bodoh dan saya akan dengan senang hati bahkan berhasarat untuk menjawab pertanyaan dengan tata bahasa dan logika yang se-benar-nya itu (sekali lagi menurut saya lho..), sebagai berikut:

Orang bertanya: ”Kamu mau kaya apa miskin?”

Saya menjawab: ”Ya jelas mau kaya donggg...!”

Orang bertanya: ”Kamu mau ideal apa tidak ideal?”

Saya menjawab: ”Ya pasti saya pengen jadi manusia ideal..!”

Analoginya, kalo kita beli sepeda dari si pembuat sepeda yang tidak idealis, maka dia tidak akan merasa bersalah ketika menjual sepeda buatannya dengan kondisi ban yang tidak ideal alias segitiga, misalnya. Mohon jangan dibayangkan, kalo Anda ga mau mati ketawa karena ulah si pembuat sepeda yang kurang idealis itu.

Menurut analisa saya (Chiee..), pertanyaan salah kaprah ini hanya muncul di belahan bumi Indonesia. Mentang-mentang orang Bule, Jepang dan Cina sudah idealis sehingga sepeda yang kita naiki memiliki ban bulat atau tempat duduk yang tidak berbentuk lancip, lalu otak kita sudah merasa nyaman dengan hanya mengimpor, memakai, ujung-ujungnya menjiplak. Bahkan menjiplak pun banyak juga yang sama sekali ga ideal. Itu kenapa, hanya di sini ada cewek cuantik bangun tidur masih terlihat cantik dengan make-up tebal tanpa tai mata layaknya orang habis tidur. Anda menebak itu ada di sinetron kita kan?
Pertanyaannya, apa hubungan antara sepeda onthel impor dengan sinetron? Ini baru bingunggg...!!

Yang lebih membingungkan, kenapa kemudian di negeri kita tersayang ini secara beramai-ramai men-cap orang-orang tertentu sebagai seorang idealis, lalu beramai-ramai pula dihindari orang tersebut. Bahkan seperti sebuah catatan black-list yang menurut saya terlalu tega, lebih tega dari Bank-bank yang mem-blacklist nasabah yang curang. Memang, mayoritas para senimanlah yang menjadi korban, meski tidak semuanya. Siapapun itu, tidak seorang pun berhak memfitnah orang lain, biasanya dengan berkata; "Jangan kerja sama dia, dia itu idealis lho...!" dan sejenisnya. Bahkan seorang residivis atu pengidap HIV-AIDS pun, mereka manusia juga yang butuh makan, berinteraksi dan bersosialisasi untuk bisa hidup seperti mereka-mereka yang merasa (lebih tepatnya mengaku) normal.

Kesimpulannya, mari kita mulai menghargai Si Tukang Kayu idealis yang telah membuat kaki kursi di rumah Anda sama panjangnya, Si Tukang jahit yang tidak meningglkan jarum di baju baru Anda, juga Si Mira Lesmana, Si Joko Anwar, Si Riri Riza, Si Teddy Soeryaatmadja, Si Hanung Bramantyo, Si Rudi Soedjarwo dan Si.. Si.. yang lain (Sigit juga boleh...) yang telah mati-matian memeras otak sekedar pengen meredam malu-massal (ini istilah baru..) Bangsa tercinta ini.

Biar mereka juga bisa kaya, dan teruuus mau berpikirrrrrrr...!!!

Read more ...

Perempuan-Perempuan

Director’s Review

Perempuan, sejak dulu seperti di-plot sebagai makhluk lemah. Banyak cerita dari berbagai belahan dunia manapun menyimpulkan hal yang sama. Karena itu kenapa lahir kisah-kisah seperti Siti Nurbaya yang menggemaskan, maaf, maksudnya mengenaskan itu.

Tapi Ngomong-ngomong, menggemaskan iya juga sih... Bagaimana tidak? Perempuan hanya menjadi bagian dari daftar menu kaum laki-laki setelah pekerjaan, uang, rumah dan kendaraan. Maka laki-laki terkaya adalah pemenang sayembara karena dia yang paling mampu membeli perempuan tercantik. So, bagi perempuan, ”cantik” yang nota benenya adalah kebetulan terlahir demikian akan berubah menjadi pengorbanan besar bagi harga dirinya ketika Si cantik memiliki cinta lain yang lebih tulus.

Sialnya, kaum perempuan pun malah terkondisi atau lebih tepatnya terdidik menjadi sebuah bentuk komoditi barang dagangan yang bisa menopang kebahagiaan seluruh keluarga secara finansial, karena pasti akan datang seorang pembeli, lelaki kaya yang siap menikmatinya. Dan kenyataanya banyak perempuan-perempuan cantik itu yang memang merasa senang. Apakah itu hanya terjadi di jaman Siti Nurbaya saja? Sayangnya tidak. Jaman sekarang pun kenyataannya lebih parah. Tapi sudahlah, ini soal mental.

Menurut keyakinan saya, perempuan selayaknya dipandang sebagai makhluk bernyawa dan berotak sama seperti laki-laki, hanya saja perempuan beranak, karena jelas Tuhan lebih mempercayai mereka untuk hal yang satu itu daripada laki-laki. Perempuan di manapun saat ini pada pandai mencari uang sendiri. So, saya tidak menemukan alasan bahwa laki-laki harus sombong karena merasa lebih kuat. Secara fisik, mungkin. Tapi bukankah untuk bertahan hidup kita tidak bisa mengabaikan otak, hati dan mental.

Masalahnya, jaman ini justru para perempuan menuntut persamaan hak dengan laki-laki dalam demo-demo maupun dengan cara lebih intelek dengan tulisan di berbagai media. Saya dan banyak laki-laki yang sependapat dengan saya, yang sejak dulu memang menganggap sama, karena sejak kecil saya terbiasa bikin repot Ibu dan kakak-kakak saya yang semuanya perempuan, jadi berubah pikiran. Lho, ternyata perempuan selama ini lemah tho...?! Itu yang saya pikirkan saat pertama kali memahami maksud demo para perempuan dengan sepanduk-spanduk dulu.

Nahh..! tertariklah saya untuk membuat film tentang pemikiran itu. ’AHA’ hanya sedikit menyentil kaum laki-laki yang terbiasa menganggap remeh pekerjaan rumah tangga, mentang-mentang dia sudah bekerja di kantoran (meski di sana cuma baca koran atau main solitaire). Tapi ’AHA’ juga menjewer kaum perempuan yang menerima itu sebagai takdir lantas nurut, tapi hatinya kecut. Di film ini, saya lebih menginginkan Si perempuan (Surti) tidak lantas mengeluh dan pasrah lalu ngambek, terus gabung ikutan demo, tapi ia justru memutar otaknya untuk menemukan solusinya sendiri. Karena menurut pemikiran saya, perempuan sama seperti laki-laki, dibekali sebuah kecerdasan, dan kecerdasan itulah yang seharusnya menjadi center point baik laki-laki maupun perempuan untuk segera berdamai lalu berbagi tugas untuk menghadapi hidup bersama-sama.

Indah bukan...?!




A H A

Script Writer : Adhie Pribadi

Producer : Prass HB, Sigit Ariansyah, Tina, Endro

Director : Sigit Ariansyah

Asst. Director : Prass HB

DOP : Ridwan Ramdhani

Art Director : Soni Ismayadi, Yani Sancai




Read more ...

Enjoy The Process


Process is the process, result is the other thing caused by the process. Eventhough, I like to remember the process I've done before separately, even it's bad pr ocess....

I'm Sigit Ariansyah, soPoster_ltb_4me peoples know me as Film Director, some others trust me as animator, video editor, art director or graphic designer. I know it's nothing exactly a big result I can reach, but actually I enjoyed every process so much. I learned from everybody and everything in every process.

After long journey, lot of my best friends, partners and clients suggest me to be focus on only one thing. You know, it's not easy for me to leave soCuplikan_scene_2me thing that you go with it in a long time.

Finally I choose to be more seriously focus on directing and writing, whether it's for Film, TV Commercials, video profile, video music, 3D animation etc. I understand this choice also not a kind of easy way to do, but I'll always to do my best, for the best result.

Thanks God, one of my feature film with USAID-LGSP 'Lubang Tak Berujung (LTB) ' becomes an official selection film in Warsawa Harm Reduction International Film Festival. It's a big reaching for me, but I hope it's not a bigger yet.

'LTB' was a film that I proud of. We have only a week to finish this anti corruption film. This is not easy enough to say 'yes' in that time... but me and my friend Donny Prasetyo, the best script writer I know, did very hard for corrections and changes from the client and producers Viko Amanda and Agus SP, day and nite about one week. We work hard enough, so I think we have to go on...

Again, I have to thanks God for giving me the best friends in the production team, like the DOP, Fauzy 'Ujel' Bausad who gives me his best result for every picture I need, Arif Rakhman, the first AD, he works so hard with the schedules, script and talents in every scenes, Andy jahyadi the Art Director and Triyanto Genthong as sound director also did their best from beginning and Ulin Yahya as the acting coach, gives me the best result for the talent attitude I need.

All talents and extras; Maria Silva, Satria Risky, Memet Jantan, Noor WA, Watiek Wibowo, Anca Ogel, Djohan, Sarah Naistra etc.. are very talented actors and actress. I love to work with them. They play hard with their characters scene by scene, frame by frame. Mentally, I know they could be professional players..

The whole team in every department professionally worked hard, we all did our best until we proudly launch the film in Jogjakarta, shown on 20 TV stations and International Film Festival.

Today, I feel that all memories as something beautiful behind the hard scenes....

And me now? still goin' on a better process...



Read more ...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

AddThis

follow